Sontak bola mataku kuarahkan sesuai jari telunjuknya menunjuk. Gelap banget. Nampaknya bulan tertutup mendung. Sekira jarak 10 meteran, ada bayangan putih agak bergegas bergerak. Hanya putih-putih berjalan mengambang ke rumah kecil di belakang rumah. Itu toilet. Toilet khas kampong, memang masih ada yang terpisah dari rumah utama.
“Deg!” Aku tercekat. Apa ituuh?
Keringat dingin sebesar jagung, sontak deras mengucur. Pikiran langsung kacau balau. Blaikk. Aku berusaha melepaskan diri dari pelukan Deni. Maksud hati mau lari.
“Kun…kun…kun..tiii,” suara Deni tak lirih lagi. Reflek tanganku membekap mulutnya. Berupaya menahan rasa berani. Tapi, terlambattttttt.
*
“Buk…buk…” suara berdebuk di samping kami beberapa kali. Hah, batu sekepalan tangan orang dewasa?
Hi sapa itu!!
Suara teriakan dari….dari arah toilet. Si kuntiiii!
Waaahh tanpa komando si Deni duluan ngacir. Aku pun ngikutin. Beberapa langkah kemudian baru nyadar. Itu suara orang. Yang tadi menghardik suara orang. Kuberanikan diri menoleh sambil menyelinap di balik pohon pisang. Ia masih berdiri di sana. Dan…suara-suara langkah bergedebuk terdengar di belakangku. Waahhh, apalagi ini. Langsung deh aku bergegas lari. Urung saat ada suara memanggil.
“Hi Mat, ini aku,” suara terdengar. Ternyata Edi dan beberapa kawan lainnya. Oalaaah. Akupun urung lari.
“Itu ada…ada …” kata-kataku tak jadi keluar. Cuman jari menunjuk arah toilet. Bayangan putih itu sekilas terlihat berkelebat. Lari menuju depan rumah. Blaikkk, itu khan Tuti. Ternyata sosok yang disangka kuntilanak tadi Tuti yang sedang pakai daster putih. Nampaknya mau buang hajat dia.