Menyedihkan lagi, pelaku-pelakunya orang sekitar. Hal lainnya adalah anak-anak baik perempuan maupun laki-laki sudah pada ‘ngelem’.
Lalu penangannnya?
Di Marunda saat ini kasus yang terjadi/ ditemukan penanganan yang dilakukan, keluarga melapor ke RT, RW, Polsek. Ada yang selesai, ada juga yang tidak. Pasalnya kurang pendampingan. Ada lagi factor malu, sedih, harus mengurus visum yang perlu biaya dan lain-lain. Jadi banyak yang tak diteruskan. Soalnya kalau diteruskan bisa tak bisa mencari pengahasilan.
Kompleksitas masalah dan background yang beragam menyangkut kekerasan terhadap perempuan dan anak tersebut perlu aksi untuk si korban. Bukan hanya pemulihan fisik namun juga membangun mental.
1. Bangkitkan Aware Tanggungjawab Bersama
Tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah tanggungjawab bersama. Semua unsur seperti organisasi keagamaan, ormas, lembaga profesi, masyarakat bahkan blogger, harus bergandengan tangan. Pemerintah tak bisa bekerja sendiri.
Seperti dinyatakan Erni dari KPPPA, bahwa peran masyarakat sangat strategis, karena mereka termasuk dalam lingkungan peristiwa. Permasalahan ada di tingkat kabupaten. Lembaga KPPPA yang ada di kabupaten yang menangani ada 4-5 personil. Bisa dibayangkan bagaimana kalau lokasi di kampung, atau di hutan. Dengan kondisi geografis, social budaya, dan luas wilayah, maka paling strategis adalah melibatkan peran serta warga masyarakat.
“Mendorong kepedulian masyarakat. Jaman sekarang, satu keluarga tak akan mampu menjaga anaknya secara sendiri. Kita harus bergandengan tangan bekerja bersama-sama,” kata Erni.
2. Pemberdayaan Masyarakat dan Sinergi
Perlu sinergi dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. sinergi meliputi keluarga, masyarakat dan pemerintah. Keluarga diberdayakan. Anak diberdayakan. Kasus anak nikah dini, karena anak tak diberdayakan. Masyarakat harus berdaya. Pemerintah membantu agar ketiga unsur itu berdaya semua. Peran tokoh masyarakat, ormas, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan lain-lain menjadi penting.