Disamping itu BNPB juga menggelar pameran-pameran, membuat Komik, lomba kreativitas, keliling ke sekolah-sekolah lewat “BNPB Mengajar”, brosur, forum komunikasi bahkan juga di lantai 11-12 BNPB ada diaroma kebencaan. Hal itu dilakukan BNPB mengingat pentingnya sosialisasi dilakukan terus menerus.
“Kita kadang sudah banyak melakukan, namun masyarakat yang jadi korban bencana merasa belum mendapat informasi memadai. Peran komunikasi menjadi penting,” jelas Sutopo.
Bagi Sutopo media menjadi sesuatu yang penting dalam penanganan bencana. Hal itu dikarenakan factor-faktor bahwa media mampu mempengaruhi keputusan politik, media mampu mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat, dan media mampu menyelamatkan nyawa manusia. Melalui media BPNB ingin lebih luas mensosialisasikan edukasi siaga bencana kepada masyarakat.
Pemilihan alternatif media radio dengan program sandiwara radio ini, rasanya cukup menjanjikan. Pasalnya terkait area-area yang dilanda bencana adalah area pelosok. Susah dalam transportasi darat yang mesti ditempuh oleh media bentuk lainnya seperti televisi, maupun cetak. Lagi pula masyarakat pelosok dengan kehidupan yang tentu berbeda dengan perkotaan, mereka lebih akrab dengan budaya ‘mendengar’ dibanding ‘membaca’. Yaaa mendengarkan siaran radio.
Coba kita lihat posisi tawar radio sebagai media yang cocok untuk edukasi bencana ini dari seorang praktisi radio Ahmad Zaini, saat menjadi narasumber Kompasiana Nangkring bareng BNPB. Menurutnya dari radio-radio daerah yang memutar sandiwara radio “Asmara di Tengah Bencana,” mencakup daerah rawan bencana. Misalnya saja daerah gunung Merapi, dan Gunung Kelud. Biasanya paparan medianya sangat kurang.
"Radiolah yang paling dekat, karena sifatnya personal. Murah. Meski ada kelemahan terhadap ceruk-ceruk wilayah yang tak mudah ditembus. Di situlah peran radio komunitas," tutur Achmad.
Menurut Achmad yang sudah malang melintang di dunia radio nasional itu, efektivitas penggunaan radio dipengaruhi beragam factor.
Pertama adalah Pemilihan jalur cerita. Sandiwara radio “Asmara di Tengah Bencana,” ceritanya menyangkut masalah kebudayaan kerajaan Mataram. Budaya gampang dicerna, diterima masyarakat. Ada unsur fanatisme. Hal ini bagus, apabila budaya lain sesuai pendengarnya juga diterapkan, seperti budaya Pasundan ataupun yang Jawa Timuran.
Kedua, sasaran target pendengar. Kalau model sandiwara radio kolosal, usia dewasa masih suka mendengarkan. Tantangannya adalah, bagaimana dengan generasi usia muda, yang lebih suka music?
Ketiga, pemilihan stasiun radio. Dari 20 radio yang menyiarkan Sandiwara radio “Asmara di Tengah Bencana,” menjangkau daerah pelosok. Factor kondisi alam, gunung dan lain-lain, membuat peran radio komunitas lebih bagus.