Menurutnya pengetahuan masyarakat tentang bencana memang meningkat setelah tsunami Aceh. Namun pengetahuan tadi belum menjadi sikap. Belum menjadi perilaku, bahkan belum jadi budaya. Hal itu berbeda dengan di Jepang. Di negeri ‘matahari terbit’ itu, pengetahuannya sudah menjadi sikap,perilaku, dan budaya masyarakatnya.
“Tingkat pengetahuan bencana sudah baik tapi belum menjadi sikap, perilaku, dan budaya dalam masyarakat. Contohnya kebakaran hutan setiap tahun terjadi, penyebabnya 99% hutan dibakar, disengaja,” jelas Sutopo.
Bukan itu saja kasusnya. Ada kasus tentang buoy. Buoy adalah penanda yang diletakkan di laut agar kapal tidak merapat dikarenakan kedalaman laut yang terlalu dangkal. Ada 25 buoy tsunami di Indonesia. Mirisnya saat ini yang berfungsi hanya 3 yaitu di Enggano, Selatan Jawa, dan Bali. Sebagian besar rusak. Terbatasnya biaya pengembangan dan pemeliharaan buoy menjadi belum optimal. Bahkan buoy yang dipasang di Laut Banda pada April 2009, dikira barang tak bertuan, maka ditarik oleh nelayan hingga Sulawesi Utara pada Oktober 2009. Dipakai buat mainan anak-anak.
Tsunami Aceh, setelah 10 tahun berlalu, masyarakat banyak yang menempati dan membangun di lokasi yang terkena tsunami. Padahal itu berbahaya. Suatu saat akan terjadi lagi, karena itu bencana geologi, yang memiliki siklus akan terjadi 200-300 tahun sekali.
“Kita memiliki memori pengalaman jangka pendek saja. Saat terjadi bencana ribut. 2-3 tahun tak terjadi bencana, lupa. Kembali pemukiman,” jelas Sutopo.
Masih banyak perilaku masyarakat yang tidak menunjukkan sikap perilaku yang meningkat, mesti pengetahuan tentang bertambah baik. Hal itu menjadi permasalahan utama yang harus dikomunikasikan dan disosialisasikan terus menerus. Itulah sebabnya edukasi terkait siaga bencana, menjadi penting dan perlu dilakukan terus menerus kepada masyarakat.
“Geo tsunami gak berfungsi, rusak. Alat-alat peringatan tsunami hilang. Tugas kita mensosialisasikan kepada masyarakat,” tutur Sutopo.
Sosialisasi tentang bencana harus didukung komunikasi yang baik. Sutopo menegaskan bahwa komunikasi adalah inti sukses dalam mitigasi, kesiapsiagaan, respon, dan rehabilitasi bencana. Bagaimana mengkomunikasikan ke masyarakat dengan lebih baik. BNPB selama ini telah berupaya melalui banyak sarana. Ada media tradisional dengan menggelar kesenian rakyat. Misalnya pagelaran wayang golek di Ujung Kulon maupun gelaran wayang kulit di Banyuwangi yang dihadiri puluhan ribu penonton.
“Di Ujung Kulon anak SD tak bisa Pancasila, tak tahu nama Gubernur, Bupati, dan Indonesia Raya tak tau. Lalu gimana tanya tentang tsunami seperti apa?” ungkap Sutopo.