Mohon tunggu...
Rachmat PY
Rachmat PY Mohon Tunggu... Penulis - Traveler l Madyanger l Fiksianer - #TravelerMadyanger

BEST IN FICTION 2014 Kompasiana Akun Lain: https://kompasiana.com/rahab [FIKSI] https://kompasiana.com/bozzmadyang [KULINER] -l Email: rpudiyanto2@gmail.com l IG @rachmatpy @rahabganendra

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Muda, Beda dan Bertenaga, Tim Nusantara Sehat di Garis Tepi Negeri Singa

3 Mei 2016   03:23 Diperbarui: 3 Mei 2016   03:43 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kelangkaan air ini, kurasakan sendiri saat usai acara, aku kebelet kencing. Maka numpanglah di Puskesam Belakang Padang yang bersebelahan dengan Balai Kecamatan. Ditunjukkan letaknya oleh salah seorang staf, dan dibilang, ”Airnya gak ada bang.”

Tapi gimana lagi, aku tak punya pilihan. Lanjutlah, dan ternyata benar, ada ember yang airnya hanya setinggi sekitar 3 cm, warnanya coklat pulak. Ya sudah, menahan kebelet lebih menderita khan.  Wuih ga bisa mbayangin, gimana mandinya yak?

9-5727b9ed789373d40df0b3f3.jpg
9-5727b9ed789373d40df0b3f3.jpg
Puskesmas Belakang Padang. (Ganendra)

Membangun Persepsi Hidup Sehat

Efek dari kelangkaan air bersih itu, menurut Pijar adalah buruknya sanitasi. Bisa dibayangkan, jika perilaku buang air besar masih sering dilakukan di ruang terbuka. Kotorannya pun langsung dibuang ke laut. Persis tipikal rumah-rumah di atas air. Kotoran langsung ke laut, bahkan sampah pun banyak yang terbuang ke laut.

Mengingat berharganya air, warga sering menyimpan air dalam drum-drum. Dampaknya muncul jentik-jentik nyamuk. Ini menjadi dilema. Dibuang sayang, tak dibuang membawa bibit penyakit. Pasalnya malaria dan demam berdarah sering melanda daerah ini. Pemerintah bukannya abai dengan kondisi Belakang Padang, karena pemerintah telah membuat program mengubah air laut menjadi air bersih. Namun belum terealisasi. 

“Saya ingin masyarakat memiliki jamban,” kata Pijar yang termotivasi ikut Nusantara Sehat karena ingin lebih banyak mengenal Indonesia.

Masalah lain adalah tentang gaya hidup sehat. Tau khan kalau di Batam terkenal dengan aneka sea foodnya. Salah satunya adalah menu Gonggong. Gonggong atau sering disebut siput laut mempunyai kandungan protein tinggi, namun juga berkolesterol. Menurut Jemris sebagai ahli gizi, di Belakang Padang gonggong mudah didapat. Di pasir saat air laut surut, banyak gonggong yang mudah diperoleh.

“Di sini warga banyak mengolah gonggong dengan digoreng. Seringkali gonggong dihangatkan untuk makan siang, tak habis masuk kulkas, diangetin lagi untuk diamakan. Ini berbahaya, karena berkolesterol,” jelas Jemris.

4-5727b7135a7b61620b58dda4.jpg
4-5727b7135a7b61620b58dda4.jpg
Senang foto bareng Jemris, Bu Septy dari Kemenkes RI dan kawan media. (Dokpri)

Kondisi demikian membuat Jemris berpikir. Alangkah bagusnya jika gonggong tak digoreng pengolahannya namun direbus. Dengan demikian tak perlu beli minyak goreng lagi. Dan dirinya berpikiran bahwa gonggong dengan olahan rebus, lebih rendah kolesterolnya. Namun ini wajib diteliti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun