Ritual mudik sendiri sangat berarti buat saya pribadi. Menjenguk orangtua yang tentu dirindukan, soalnya setahun sekali baru bisa pulang ke kampung. Kadang-kadang saja pulang di luar momen lebaran jika ada kebutuhan mendesak. Dan tentu sangat berbeda nuansanya dengan momen lebaran. Di momen lebaran aku bisa bertemu dengan sanak saudara, kerabat dan teman. Saling bersilaturahmi karena saat bersamaan mudik. Tentu sebuah hal yang sangat membahagiakan. Kecuali itu menggali kenangan masa lalu. Masa kecil. Berasa bahagia bisa mengingat kembali masa-masa silam. Mengunjungi tempat-tempat ‘bersejarah’ dalam kehidupan masa dulu. Tempat-tempat manis yang membahagiakan. Gedung sekolah, melintasi jalur kampung yang sudah berubah lebih baik, wisata jaman dulu, nuansa malam di kampung, bertemu dengan teman sepermainan dan masih banyak lagi.
Telah menjadi kebiasaan dalam 5 tahun belakangan, saat mudik menggunakan mobil pribadi bersama-sama dengan 3 saudara saya. Tentu mudik membawa kendaraan pribadi menjadi pertimbangan. Pasalnya di kampong kami membutuhkan kendaraan untuk bersilaturahmi ke tempat saudara yang jaraknya lumayan. Jadi sangat penting untuk menunjang aktivitas ‘wira-wiri’ di kampong. Disamping itu dengan membawa mobil sendiri biaya perjalanan lebih irit alias ekonomis hehee. Khan 4 orang memakan ‘tiket’ satu BBM, sementara kalau tiket umum mesti beli 4 tiket. Lebih ekonomis. Apalagi bisa bawa muatan sesuai keinginan. Tentunya tak melebihi kapasitas kendaraan dong yaaa. Hehehe.
Mudikku di Momen Lebaran 2015
Sabtu, 11 Juli 2015, aku berangkat mudik bertolak dari Bogor. Artinya H-6 sebelum lebaran Idul Fitri 17 Juli 2015. Sengaja waktu kupilih jauh hari sebelumnya. Terbayang di tahun-tahun sebelumnya, kemacetan luar biasa saat mepet waktu mudik melalui jalur Cikampek, Subang, Indramayu dan seterusnya jalur pantura. Beban over jalur pantura yang memang sering terjadi kala momen lebaran. Momok macet di jalur Subang, Indramayu, Cirebon terbayang jelas. Dulu pada momen lebaran 2012, saat menuju jalur pantura, dialihkan via Sadang melewati hutan-hutan yang menambah jauh jarak. Perjuangan menuju perbatasan Jawa Barat – Jawa Tengah, di Brebes lumayan melelahkan. Kemacetan yang bertahun-tahun yang berulang dan berulang. Dan mimpi yang selalu terbayang adalah, kapan kondisi mudik bisa lebih lancar? Paling tidak kemacetan bisa terkurangi alias lebih ‘manusiawi’.
Mudik pada tahun 2012, saat melewati Sadang. (Ganendra)
Nah aku termasuk warga yang cukup senang saat diresmikannya jalur alternatif Tol Cipoko – Palimanan (Cipali). Tol yang diproyeksikan mampu mengurangi beban Pantura dari mulai Cikopo – Jomin – Ciasem – Pamanukan – Lohbenar – Palimanan ini memberi harapan baru bagi kelancaran di jalur Pantura wilayah Jawa Barat. Harapan menikmati jalur yang lebih ‘manusiawi’ kemacetannya tentu aku harapkan. Menghilangkan kemacetan? Tentu belum berharap sejauh itu, minimal arus masih dinikmati ramai lancar. Pasalnya banjirnya kendaraan pemudik tentu sulit dihindari saat momen tahunan lebaran.
Dan modal pengetahuan seluk beluk tol sepanjang 116,7 km itu aku peroleh saat acara Kompasiana Visit Tol Cipali bareng Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR) pada Sabtu, 4 Juli 2015, menjadi bekal yang sangat berharga saat melintasi tol yang melintasi 5 kabupaten di Jawa Barat, yakni: Purwakarta, Subang, Indramayu, Majalengka, dan Cirebon itu. Data dan fakta secara gamblang aku peroleh di acara itu bersama 50 kompasianer yang menjadi peserta. Hingga saat mudik Bogor (Jawa Barat) – Wonogiri (Jawa Tengah) dapat kulalui dengan aman dan lancar serta lebih nyaman dari tahun-tahun sebelumnya. Berikut ini aku berbagi kisahnya.