Mohon tunggu...
Rachmat Pudiyanto
Rachmat Pudiyanto Mohon Tunggu... Penulis - Culture Enthusiasts || Traveler || Madyanger || Fiksianer

BEST IN FICTION Kompasiana 2014 AWARD || Culture Enthusiasts || Instagram @rachmatpy #TravelerMadyanger || email: rachmatpy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Novel (Bukan) Pasaran Terakhir, Patah Arang Sang Demonstran?

25 November 2024   03:05 Diperbarui: 25 November 2024   05:18 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis bersama penulis Novel (Bukan) Pasaran Terakhir, Yon Bayu Wahyono (kiri). Foto Fenny Bungsu. 

Kenapa deh, setelah baca novel (Bukan) Pasaran Terakhir, ingat buku monumental kumpulan catatan harian aktivis mahasiswa Soe Hok Gie, "Catatan Seorang Demonstran", yang terbit tanun 1983 silam?  Tentu bukan karena isu, tapi lebih karena basis cerita dunia aktivis.

BENAR seperti yang disampaikan penulisnya, tak perlu mengernyitkan dahi untuk memahami novel berjudul "(Bukan) Pasaran Terakhir", karya Yon Bayu Wahyono ini. Itu yang saya dengar darinya saat menerima langsung novel ini pada 14 November 2024 di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. 

Novel setebal 166 halaman ini, ringan secara isi, renyah secara bahasa, mudah dicerna namun kaya pengetahuan khususnya sosial, politik. Ya, novel ini berlatar belakang isu politik dengan balutan romantisme asmara. Tak banyak intrik. Tak banyak lika liku dalam bangunan cerita. 

Boleh dibilang novel "politik" ini, simple. Alur melalui lembar demi lembar dalam 11 bagian, terkonstruksi baik, menuntun pembaca menuntaskannya sampai akhir. 

Bolehlah, penulis mampu mengemas tema politik yang seringkali dianggap serius, menjadi sajian serenyah kentang goreng crispy. 

Stand Point Novel 

Salah satu kekuatan yang harus disebut setelah membaca novel ini adalah tentang edukasi politik. Novel lekat dengan nuansa sosial politik, passion sang penulis. 

Dalam hal ini tentang tema lingkungan, penambangan (Gunung Kapur). Saya yakin, novel lahir sebagai sebuah keresahan penulis terhadap fenomen kehidupan "politisasi" yang dinilainya merugikan masyarakat. Gagasan tema menarik dan potensial memberi wawasan (mencerdaskan) bagi publik. 

Memberi pemahaman tentang keadilan sosial, perlindungan hak-hak publik, sampai (minimal) tentang bagaimana melihat secara jernih terhadap aksi demonstrasi yang melingkupinya. Mengingat novel berbasis dunia aktivis. Hal itu menjadi penting, mengingat tema "tambang" selalu aktual, menjadi diskursus dan polemik yang terjadi berulang-ulang di negeri ini. 

Dibarengi hiruk pikuk gesekan sosial masyarakat lapisan bawah dengan kekuatan di baliknya (oligarki) yang berkompromi dengan penguasa. Menjadi relevan mengingat saat ini sedang santer kasus Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk (PIK) 2. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun