Dalam cerita itu termuat tentang dunia gaib, teluh, pertentangan ilmu htam, wabah, hingga "menampar " sistem budaya patriarki. Dimana dominasi pria seakan dilecehkan Calon Arang (janda) yang mampu menghidupi putrinya tanpa bantuan pria.
Sayangnya karya horor seperti ini termarginalkan oleh karya horor yang berbasis fantasi. Sialnya horor mengadopsi kualitas gambaran yang sudah ada.
Kuntilanak penampakannya dasteran warna putih, punggung bolong. Begitu juga genderuwo yang menyeramkan seperti itu, tak berubah. Semua orang mempercayai itu. Â
Menghapus Stigma Negatif Sastra Horor
Stigma negatif yang tersemat pada karya horor, akibat eksploitasi ketakutan dan sensualitas, salah satunya muncul dari para penulisnya.
Ni Made Sri Andani, pemateri pendamping dalam diskusi, menyoroti hal ini.
Bahwa horor harus dibebaskan dulu dari stigma-stigma negatif seperti cerita membosankan, cerita yang  begitu-begitu saja. Bahkan  horor dianggap mengganggu orang yang taat beribadah. Tidak berani cerita horor, karena bisa dianggap kurang taat beribadah. Â
Paradoksnya orang memiliki ketertarikan, membicarakan horor. Â
"Jika memang citra sastra horor dianggap pembodohan, harus dinetralisir dulu citra negatif itu,"ujarnya.
Andani mengilustrasikan, seperti parfum untuk mewangikan tubuh, ada dua jenis. Satu parfum satu deodoran. Badan bau kalau dikasih parfum aja gak sembuh karena badan sudah bercampur dengan bakteri. Kasih deodoran dulu agar netral baru dikasih parfum.