Mohon tunggu...
Rachmat Pudiyanto
Rachmat Pudiyanto Mohon Tunggu... Penulis - Culture Enthusiasts || Traveler || Madyanger || Fiksianer

BEST IN FICTION Kompasiana 201 AWARD || Culture Enthusiasts || Instagram @rachmatpy #TravelerMadyanger || email: rachmatpy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Kampoeng Gallery, Lahir dari Inspirasi Barang "Sampah"

13 Desember 2023   17:40 Diperbarui: 20 Juli 2024   03:36 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kampoeng Gallery. DOKPRI

Dari sebuah gairah cinta, sebuah "gallery" tercipta. Dari sebuah dimensi rasa, sebuah "kampoeng" eksis ada. 

Rasa cinta menumbuhkan hobi. Hobi memberi inspirasi. Ini garis merah yang yang kurasakan setelah mendengar penuturan Ivan Moningka, sosok penggagas, sekaligus "bidan" bagi lahirnya "Kampoeng Gallery." Namanya unik ya?

Tapi tunggu dulu, jangan membayangkan itu seperti sebuah kampung yang bermakna seperti kata "Kampoeng" dan "Gallery" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ya. 

Kalau merujuk KBBI, kata "Kampoeng" memiliki arti yang banyak. Seperti, kelompok rumah yang merupakan bagian kota. Bisa diartikan juga desa atau dusun. Juga memiliki arti sebagai kesatuan administrasi terkecil yang menempati wilayah tertentu, terletak di bawah kecamatan.

Sementara kata "Gallery" diartikan KBBI sebagai ruangan atau gedung tempat memamerkan benda atau karya seni dan sebagainya.

Persepsiku, yang dimaksudkan "Kampoeng Gallery" di sini merujuk pada sebutan yang bermakna "kenangan/ jadulan" dan "barang antik/ seni."

Sesuai dengan kondisi riil "Kampoeng Gallery" yang memang berisikan beragam koleksi barang atau benda second/ bekas (mayoritas) yang dekat dengan keseharian. Seperti, kaset pita dan tape, buku-buku lama, koran-koran, poster, mesin ketik, televisi, kamera, lukisan dan barang-barang "jadulan" lainnya.

Unik. Itu kesan pertamaku, saat datang ke lokasi bersama rombongan Kompasianer Komunitas Traveler Kompasiana (Koteka) di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Minggu 10 Desember 2023 siang.

Sekilas tempatnya terlihat dari luar, biasa saja. Namun setelah masuk area, melalui gang selebar satu meteran, nampak tempat ini terasa nuansa yang berbeda. Nuansa nyentrik dan "nyeni". Di tengah hingar bingar Jakarta, tempat ini menyimpan ruh masa lalu.  

Lalu bagaimana tempat ini terbentuk dan eksis sebagai sebuah tempat nongkrong/ caf anak muda yang unik?

Kompasianer KOTEKA di Kampoeng Gallery. DOK Amelia
Kompasianer KOTEKA di Kampoeng Gallery. DOK Amelia
Ivan Moningka berkenan berbagi kisah kepada 10 kompasianer Koteka di markasnya. Kisah  yang dituturkan santai dengan suguhan, Kebab ala Batman (Batak Manado). Ini mah nama yang aku asal sebut saja ya. Karena istri Ivan, Pinta Simanjuntak asli Batak.  hehee.

Juga ada Mie Ayam sajian masakan Pinta dan kopi racikan Buatan Orang Rumah (BOR) yang kedainya berada di ruangan tengah Kampoeng Gallery.

Sebelum lanjut baca, boleh nonton video sekilas Kampoeng Gallery di bawah ini.


"Di Dunia Tidak Ada Sampah, yang Ada Hanya Salah Tempat"

Berawal dari barang-barang jadulan koleksi pribadi Ivan, menumbuhkan ide pada tahun 2010 silam, cikal bakal lahirnya Kampoeng Gallery yang resmi menyandang nama itu pada tahun 2013.

Sedikit demi sedikit, barang-barang "second" yang dianggap sebagai "sampah" itu, menjadi inspirasi tersendiri bagi Ivan.

"Sampah" yang dimaksud Ivan adalah barang-barang lama/ second yang umumnya tidak digunakan lagi dan dianggap "sampah". Umumnya karena dirasa para pemiliknya sudah tidak bermanfaat, dan layak dibuang. Seperti tape, kaset pita, CD (compact disk), yang di era digital tak "mendapat tempat" alias sudah tak digunakan lagi karena ketinggalan zaman.

Termasuk buku-buku/ koran terbitan lama, yang rerata sudah tak digunakan lagi, karena tergerus laju zaman.

Poster di Kampoeng Gallery. DOKPRI
Poster di Kampoeng Gallery. DOKPRI
Nah orang biasanya, harus berpikir ulang untuk menyimpan "sampah" barang jadulan itu. Kecuali membutuhkan tempat, juga dipikir-pikir, "Buat apaan barang-barang getu disimpan?"

Tentunya kecuali yang suka mengkoleksi karena nilai historis, kenangan, memoriesnya. Namun "sampah" itu diperlakukan berbeda oleh sosok pria asli Manado itu.

Sebagai seorang yang hobi mengkoleksi barang-barang bekas, Ivan gelisah, melihat nasib benda-benda antik yang semestinya memiliki nilai tinggi dan berharga. "Dibuang sayang," begitu kira-kira yang dirasakannya. 

Ivan merasa sayang saja, kalau barang-barang antik bersejarah itu, dibuang begitu saja. Padahal nilainya, bisa berarti bagi orang lain.

"Di dunia tidak ada sampah, yang ada hanya salah tempat," demikian filosofi bijak Ivan yang dituturkannya kepada rombongan acara "Kotekatalks 14", Kompasianer Koteka yang berkumpul di salah satu ruang tengah Kampoeng Gallery.

Kotekatalks 14 di Kampoeng Gallery. DOKPRI
Kotekatalks 14 di Kampoeng Gallery. DOKPRI
Kira-kira yang aku pahami filosofi di atas adalah, bahwa benda-benda "sampah" itu apabila di tangan orang yang tepat, maka akan dihargai nilainya. Bukan lagi tanpa nilai. "Sampah".

Bagi Ivan, "sampah" merupakan salah satu yang membuat iklim dunia tidak stabil. Dia ingin menjadi bagian dari orang yang turut menyelamatkan dunia dari sampah.

Berawal dari hobi dan termotivasi kegelisahannya itu, Ivan mengumpulkan koleksi barang secondnya yang dimilikinya sejak SMA.

Dia  menyukai musik dan membaca. Pada zaman itu, untuk mengoleksi barang-barang itu, dia tak mampu membeli barang baru. Akhirnya Ivan suka membeli barang second di tukang loak.

Dari situlah dia mulai meminati barang-barang dari tukang loak.  Akhirnya "koridor" samping rumahnya menjadi tempat penampungan barang-barang second miliknya. Sekarang menjadi markas Kampoeng Gallery.

"Kami tidak pernah bermimpi, tapi kami punya mimpi yang terus kami jaga, kami gerakkan dalam tubuh dan pikiran kami." - Kampoeng Gallery.

Lambat laun, koleksi barang-barang second, antik Ivan bertambah.  Barang-barang itu datang dari mana saja. Dari siapapun yang menghibahkan, atau bahkan dibeli langsung dari orang yang menawarkannya.

"Boleh juga nitip jual di sini," kata pria berumur kepala 5 itu.

Sedikit banyak, Kampoeng Gallery menjadi semacam tempat "takdir pertemuan" antara "sampah-sampah" itu dengan orang-orang yang membutuhkannya. "Sampah-sampah" itu menemukan "tuan barunya." Dimana Kampoeng Gallery menjadi tempat pertemuannya.

Unik memang. Kampoeng Gallery menjadi jembatan untuk meningkatkan "derajat" nilai barang-barang yang dianggap "sampah" itu.  
"Barang-barang second itu bisa menjadi investasi ke depan," katanya.

Di sisi lain, Ivan bukan saja mengapresiasi nilai sejarah "sampah" itu, tapi melalui Kampoeng Gallery, Ivan juga turut berkontribusi dalam mengurai persoalan sampah di Jakarta.  Bukankah ini sangat positif?

Ruang Kampoeng Gallery. DOKPRI
Ruang Kampoeng Gallery. DOKPRI

Ruang Literasi dan Seni Anak Muda  

"Yang bisa mendamaikan dunia, hanya buku dan lagu." -- Kampoeng Gallery

Terbagi dalam ruang-ruang di sepanjang koridor, dengan ragam koleksi benda-benda loak "bersejarah" itu, Kampoeng Gallery menawarkan suasana vintage. Menciptakan suasana seperti tempoe doeloe yang "dijual" Ivan sebagai daya tarik Kampoeng Gallery.

Maka jadilah Kampoeng Gallery menjadi tempat nongkrong atau semacam caf. Dan jangan salah, anak-anak muda ternyata sangat menikmati menghabiskan waktu di Kampoeng Gallery.

Bukan hanya bisa nongkrong bareng teman-temannya, namun bisa sekaligus membaca koleksi buku secara gratis plus mendengarkan musik era "bapaknya" dulu. 

Ruang dan koleksi Kampoeng Gallery. DOKPRI
Ruang dan koleksi Kampoeng Gallery. DOKPRI

Apalagi belakangan, Ivan juga menggandeng beberapa tenant, seperti Kopi Buatan Orang Rumah (BOR), angkringan juga penjual makanan minuman guna membuat betah pengunjung.

Di tempatnya itu, Ivan menggiatkan kegiatan literasi, seni dan budaya. Ada perpustakaan. Ada ruang untuk MADING (Majalah Dinding) diperuntukkan bagi anak-anak muda yang malu memperkenalkan karya-karyanya.

Kampoeng Gallery terbuka untuk umum. Konsep literasi tak dibatasi usia, namun Ivan ingin meliterasi anak muda untuk menghargai sampah. Dia ingin mengajak teman-teman muda belajar membuat budaya baru, menyelamatkan dunia dari sampah.

Kampeng Gallery bisa menjadi wadah sebagai tempat bertukar pikiran, membaca buku koleksi perpustakaannya, belanja barang jadulan, kaset, buku dan kegiatan lainnya.  

Ke depan, Ivan ingin semakin bisa  memperkenalkan literasi yang hampir punah di zaman modern ini. Dia ingin  mendorong teman-teman lainnya untuk membuka tempat semacam Kampoeng Gallery di daerahnya masing-masing.

Harapannya, semakin banyak orang termotivasi merawat sejarah hobi yang pernah jaya di era tahun 60, 70, sampai 90an. Oleh karenanya, diperlukan tersedianya ruang atau wadah yang bisa mempertahankan barang-barang hobi tersebut, jangan sampai menjadi barang sampah. "Nilai sejarahnya" bisa menjadi lebih bermanfaat.

So, kamu tertarik menikmati nuansa jadulan di Kampoeng Gallery?

Mampirlah, buka jam 11.00 WIB dan Tutup 23.00 WIB. Lokasinya dekat banget dengan Stasiun Kebayoran, Jakarta Selatan. Jalan kaki 3 menit saja.

Selamat beromantisme dengan masa lalu. Gasss!

IG/ X = @rachmatpy

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun