"Ga, bareng Ibu,PaK."
Aryo tak menjawab. Ia berlalu mengunci pintu rumah dan menghampiri sepeda motor RX Kingnya, Motor jadul yang setia menemani hidupnya.
*
Aryo belum sepenuhnya memejamkan mata di bangku ‘peraduannya', meski malam telah larut. Pikirannya menerawang. Gelisah. Kopi di meja sudah tandas. Puntung rokok berserakan di asbak tak beraturan. Ia memikirkan Lastri. Perempuan yang sangat dicintainya. Entah sampai kapan kondisi ini akan berlangsung. Entah sampai kapan bangku panjang nan keras dan menyakiti punggungnya itu akan setia menemaninya. Entah sampai kapan Dito merasakan imbas ketidakharmonisan orangtuanya. Dan entah sampai kapan ia akan terpenjara dan terhukum rasa pusing yang luar biasa akibat ‘puasa'. Hampir dua bulan! gila! Sejak dilantiknya presiden ketujuh. Dia tak habis mengerti, mengapa Presiden yang dilantik, tapi dirinya yang dihukum, ‘berpuasa'. Gila, ini gila!!
Semua gegara pilihannya menang. Dan pilihan Lastri kalah. Kubu-kubuan. Luka-luka hajatan negeri bertajuk demokrasi yang membekas luka di keharmonisan keluarganya. Berapa kali jalan kompromi dan ‘negosiasi' ditempuhnya. Namun gagal. Dan malam ini Aryo bertekad menyudahinya, apapun resikonya.
"Semua harus kuakhiri," gumamnya.
Perlahan ia bangkit. Lalu menghampiri almari dan membukanya. Dikeluarkannya dua buah benda persegi panjang yang masih terbungkus rapi. Benda yang dibelinya lebih sebulan lalu. Kemudian diambilnya sebuah pisau lipat yang tersimpan di laci mejanya. Pisau yang sudah berkarat berukuran sedang. Pisau yang biasa digunakan untuk meraut pensil Dito. Beranjaklah dia dan menggeser sebuah kursi. Diulurkannya tangan meraih pigura di dinding itu. Pigura yang berdebu karena lama tak dibersihkan.
"Maaf, atas nama kepala keluarga, dengan hormat saya turunkan Anda. Anda tak bisa menghiasi lagi dinding ruang tamu rumah saya," katanya perlahan.
Ditaruhnya foto presiden yang berdebu itu di meja. Lalu Aryo meraih bungkusan persegi panjang yang tadi diambilnya dari almari. Dipungutnya pisau lipat berkarat dan memotong tali pembungkusnya. Nampak foto sang presiden yang tersenyum. Beranjak dia naik ke kursi tadi dan menggantungkan tali pigura foto itu.
"Sekarang saya pasang foto Bapak dan wakil Bapak," katanya lirih.
Aryo tersenyum. Tak ada yang dipikirkannya setelahnya. Ini mungkin akan menyelamatkan keluarganya atau sebaliknya menghancurkannya. Tapi ia bertekad bulat menjalankan posisi sebagai kepala keluarga, menentukan yang terbaik bagi keluarganya. Bagi pembelajaran Dito. Juga bagi istrinya. Entah apa reaksi Lastri besok. Dan itu mungkin akan menentukan awal perjalanan keluarganya atau mungkin dirinya sendiri. Aryo siap menghadapinya. Aryo merasakan pikirannya enteng. Hilang sudah kegalauan yang dirasakan sekian lama.