***
Teng teng teng ...
Suara jam tua di kamar tengah berdentang panjang. Suaranya khas jam tahun 80an. 12 kali berdentang. Sudah tengah malam. Suasana sepi. Suara binatang malam benar-benar malas bersuara saat itu. Mungkin dua hari tak hujan menjadi penyebabnya. Aryo mematikan nyala ‘berhala 7 cm' yang hampir habis. Dibenamkannya barang berapi itu ke asbak di meja kerjanya. Meja kerja yang lebih layak disebut meja tua. Beranjak dari kursi menuju bangku panjang di ruang tengah. Matanya sudah terasa berat. Direbahkannya badannya, sebuah bantal mengganjal kepalanya. Bangku panjang itu lebih dari sebulan ini menjadi ‘peraduannya'.
*
"Sudah selesai sarapannya?" Tanya Aryo pada anak semata wayangnya, Dito.
"Sudah pak, nanti jemput ya Pak pulang sekolah?"
"Iya, ntar Bapak jemput."
Diusapnya kepala anak berseragam merah putih itu. Putera semata wayang buah cinta dengan Lastri, yang dinikahinya 7 tahun lalu. Putri dari lurah terhormat di kampungnya. Butuh perjuangan panjang untuk meyakinkan kedua orangtuanya, menerima dirinya yang berprofesi seorang staf kecamatan. Lika liku asmara yang pelik. Aryo percaya akan kekuatan cinta. Terbukti dengan digelarnya pernikahan dirinya dan Lastri.
Lastri melintas di ruang makan. Sudah berpakaian rapi dan harum. Seperti biasanya, ia telah bersiap untuk mengajar di PAUD kelurahan. Tanpa banyak kata ia mencium Dito di keningnya. Kemudian berlalu, tanpa menoleh padanya. Aryo hanya menghela nafas.
Digamitnya lengan Dito. "Ayo Dit, kita berangkat."