Mohon tunggu...
Ragil Nugroho
Ragil Nugroho Mohon Tunggu... karyawan swasta -

editor

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Seribu Wajah di Cermin Retak (Bagian 1)

26 Januari 2011   08:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:10 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Iya. Daa.."

"Daa.."

Setelah saling melambaikan tangan dan membiarkan mobil mewah yang membawa Melan itu menderu berlalu, aku pun melangkah meninggalkan night club.

Om Yus adalah salah satu langganan paling kaya di night club tempat kerjaku. Siapa pun yang dipilih untuk menemaninya, seperti Melan malam ini, pastilah akan langsung kaya mendadak untuk tiga hari. Tetapi, Om Yus jarang sekali memilih yang lain karena Melan adalah kesayangannya. Yang kutahu, mereka berdua sangat dekat walau entah batasnya sampai di mana. Kata Melan, Om Yus tergolong laki-laki yang tidak pelit dan suka membantu-termasuk membiayai operasi tumor adik Melan sebulan yang lalu.

"Hati-hati di jalan, Ra," sapaan ramah Bang Kohor, petugas keamanan night club yang berjaga di posnya yang seperti kotak korek api di samping gerbang, mengagetkanku yang sedang berjalan sambil melamun.

"Ya, Bang. Terima kasih," jawabku tak kalah ramah, lalu berjalan keluar dari pintu gerbang, menuju ke jalan raya yang dihias temaram lampu merkuri dan agak basah oleh sisa hujan sepanjang sore sampai jam sembilan malam tadi. Malam sudah benar-benar sepi. Kupercepat langkahku.

Sebetulnya malam yang seperti ini adalah malam yang selalu kunanti; malam yang damai dan tenang, dengan hanya bulan yang menemani. Setelah tujuh jam berada di ruangan penuh asap rokok dan bau alkohol, terkurung hingar bingar musik dan desah nafas penuh nafsu di antara canda tawa manja, waktu pulang adalah saat yang paling membahagiakan. Ya, aku menunggu pulang hanya untuk bertemu malam yang damai dan tenang di luar tempat kerjaku. Malam yang mampu mengembalikan kekuatan dan membangkitkan kembali semangat hidupku yang telah diperas habis oleh bosku yang memperlakukan karyawannya seperti budak tak bernurani, dengan cemeti di tangan. Aku mendesah lemah. Ingin rasanya cepat-cepat tidur dan bermimpi indah di kamar kosku yang sempit, yang lima belas menit lagi akan kucapai. Bayangan kasur yang empuk dan hangat membuatku mempercepat langkah. Tapi tiba-tiba...

"Cittt...!".

Sebuah mobil Kijang berwarna hijau tua berhenti mendadak agak jauh di depanku, kira-kira dua puluh meter. Melihat dari caranya berhenti, kukira sopirnya mungkin sedang mengantuk atau agak mabuk dan tiba-tiba ingin muntah. Tak peduli, kuteruskan langkah mendekati mobil itu karena rumah kosku berada di belokan jalan, di belakangnya. Aku memang harus melewati mobil itu.

Tapi ketika kakiku baru mulai melangkah, tampak dua orang laki-laki berjaket kulit dan berkacamata hitam turun dari mobil, lalu dengan gerakan secepat kilat langsung menyergapku. Tubuhku dicengkeram. Mulutku dibekap. Aku tak sempat berteriak. Dengan kasar, mereka menarikku masuk ke dalam mobil, meninggalkan sebelah sepatuku yang terlepas dan beberapa pasang mata anjing liar yang menjadi saksi atas kejadian tak terduga itu.

Di dalam mobil yang melaju kencang membelah malam, aku hanya bisa meronta-ronta seperti cacing setengah sekarat yang terinjak kaki manusia, tanpa suara. [Bersambung]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun