Mohon tunggu...
Ragil Nugroho
Ragil Nugroho Mohon Tunggu... karyawan swasta -

editor

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Seribu Wajah di Cermin Retak (Bagian 1)

26 Januari 2011   08:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:10 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

1

Aku berdiri di parkiran, tidak jauh dari pohon palem. Di atas sana, kulihat sinar bulan mencoba menembus gumpalan awan yang menutupnya dan membentuk noktah keabu-abuan. Tidak seperti biasa, angin berhembus agak kencang. Itu kutahu dari kibaran keras umbul-umbul merek rokok di seberang jalan, yang menampar malam dan rasa dingin yang menusuk, menembus sweater tebalku sampai ke kulit. Aku bergidik beberapa kali. Kurasa malam sedang mencoba menjadikanku bagian dari dirinya. Tubuhku mulai membeku. Dingin itu semakin merasuk. Nafasku berat.

Aku masih tak beranjak ketika malam semakin merangkak naik dan angin yang berhembus semakin kencang. Nampak awan mulai bergeser enggan dan pelan seperti keong, meninggalkan bulan yang diselimutinya sejak tadi. Sebuah bulan tua yang pucat muncul sedikit demi sedikit mencoba menerangi malam. Aku mendesah. Pancaran sinar bulan yang malas dan redup mengingatkan pada diriku yang akhir-akhir ini juga seperti itu karena kurang tidur. Ya, seperti bulan malam ini, aku juga pucat. Tapi seperti burung hantu, pandanganku tetap awas.

Meski berdiri agak jauh, tapi masih bisa kulihat dengan jelas beberapa orang yang keluar dari pintu bertirai merah itu, sebelum kemudian bergegas masuk ke dalam mobil yang terparkir menunggu. Di antara mereka ada yang berjalan sempoyongan sambil meracau tidak jelas, ada pula yang setengah diseret oleh temannya, dan seseorang bahkan ada yang muntah sambil lehernya dipijit oleh seorang perempuan muda berpakaian minim, di dekat tong sampah.

Walau tak mengenal satu pun dari mereka, tapi kutahu pasti kalau orang-orang itu juga manusia malam sepertiku. Dan walau kami sama-sama terlahir sebagai manusia yang suka berkeliaran di malam hari, tapi aku juga sadar kalau guratan nasibku dan mereka sangat jauh berbeda bagai bumi dan langit; kukenali mereka sebagai manusia kaya dari golongan para tuan yang harus dilayani dan aku yang miskin sebagai pelayannya.

"Sudah jauh malam," bisikku lemah sambil melirik jam tangan yang sudah menunjukkan jam setengah dua.

Melan, teman sekerjaku yang sejak tadi kutunggu belum juga nampak batang hidungnya yang mancung. Barangkali ia masih ada urusan di dalam sana, pikirku menenangkan diri. Selama ini, atau tepatnya dua bulan pertama sejak aku bekerja di night club ini, kami berdua memang selalu pulang bersama; tempat tinggal kami hanya dipisahkan oleh lapangan bulu tangkis di sebuah perkampungan kelas bawah. Nasib dan keadaan telah membuatku dan Melan menjadi teman seperjuangan; teman berbagi tawa ketika kami tiba-tiba ketiban tips besar dari seorang tamu yang royal, atau berbagi sedih ketika seorang tamu yang kasar menjadikan kami sasaran pukulan kemarahannya hanya karena terlambat mengantarkan pesanan. Kucoba tetap bersabar menunggu.

Waktu kembali menemaniku berdiri dalam diam di parkiran. Tepat di atas kepala, mendung juga kembali berarak menyelimuti bulan yang seakan sedang butuh pelukan. Dengan pasti, malam merangkak menuju pagi dan mengusir satu persatu mobil beraneka merek yang tadinya berjejer rapat di parkiran. Tinggal dua mobil saja yang masih tersisa: sebuah mobil BMW bercat metalik dan sebuah sedan ramping merah tua. Sekali lagi kulihat jam tangan.

"Kenapa Melan lama sekali, ya?" bisikku gelisah.

Sudah hampir setengah jam kubiarkan diriku jadi santapan nyamuk yang tidak peduli kalau darahku bukanlah darah yang enak dihisap karena terlalu sering tercampur nikotin dari kopi pahit penghilang kantuk yang sering kali kuminum. Sudah beberapa kali juga angin malam yang dingin memaksaku melakukan gerakan senam ala kadarnya untuk menjaga agar tubuhku tetap hangat dan tahan berdiri menunggu. Tapi sampai kapan? Aku mulai bimbang. Haruskah kutunggu Melan-yang berarti jatah tidurku akan semakin berkurang dan membuatku semakin pucat-ataukah langsung pulang saja-yang artinya harus jalan sendiri melewati jalanan yang gelap? Kebimbanganku kemudian terjawab ketika sosok Melan muncul dari arah pintu bersama Om Yus.

"Ra!!" teriak Melan sambil melambaikan tangan ke arahku. Mataku langsung membesar. Akhirnya pulang juga, batinku lega. Kubalas lambaiannya.

"Yaa!!" teriakku senang.

Dengan agak menyeret langkah, karena sebelah kakiku mulai kebas, kupaksa berjalan cepat menghampiri Melan. Saking tergesanya, hampir saja aku terjatuh.

"Yuk, Mel. Kita cabut aja biar cepat sampai rumah," ajakku begitu sampai di dekatnya.

Terlihat Melan tersenyum kikuk.

"Mm...Sori, Ra. Kayaknya, malam ini kita tidak bisa pulang sama-sama, deh. Aku masih mau jalan-jalan dengan Om Yus. Tidak apa-apa, kan?" jelas Melan dengan nada bersalah dan tatapan mohon pengertian. Aku tahu maksud kata 'jalan-jalan' dalam kamus Melan. Itu artinya ia lembur untuk mengerjakan pekerjaan sampingannya: menemani tidur para laki-laki kesepian.

Aku tersenyum maklum. Untuk mengejar uang, kita memang terkadang harus merelakan seluruh waktu kita-meski untuk bernafas sejenak sekalipun-dibeli oleh mereka yang berpunya. Di saat sudah tidak ada lagi yang bisa dijual, waktu, tubuh dan bahkan nafas termasuk yang bisa diperjualbelikan jika ada yang mau beli. Dan Melan termasuk tipe orang yang akan menjual semuanya demi adik-adiknya yang masih kecil-kecil dan yatim piatu. Melan yang sudah kehilangan keperawanannya sejak remaja memang berprofesi ganda; sebagai pelayan biasa di night club dan sebagai WTS di luar jam kerja. Sedangkan aku, benar-benar bekerja jujur sebagai pelayan. Aku masih punya kehormatan dan keperawanan yang harus kujaga.

"Nggak apa-apa, kok. Aku kan juga biasa pulang sendiri," jawabku tetap ramah. Walau awalnya aku agak risih juga melihat temanku akan dibawa om-om senang seperti Om Yus.

"Sekali lagi maaf ya, Ra. Harusnya tadi tidak kubiarkan kau menunggu lama di parkiran. Abis..." Wajah cantik tapi kuyu Melan dipenuhi rasa bersalah.

"Sudah, sudah. Tidak apa-apa, kok." Kutepuk bahu mungilnya yang telanjang karena baju yang dipakainya memang tidak berlengan; kemben ketat warna merah marun yang ditaburi manik kecil-kecil. "Sana pergi, gih. Om Yus sudah menunggumu di mobil."

Di parkiran, lampu BMW metalik milik pria kaya setengah baya itu berkedip tak sabar.

"Iya deh, Ra. Aku pergi dulu, ya?"

"He-eh. Hati-hati di jalan, Mel."

"Iya. Daa.."

"Daa.."

Setelah saling melambaikan tangan dan membiarkan mobil mewah yang membawa Melan itu menderu berlalu, aku pun melangkah meninggalkan night club.

Om Yus adalah salah satu langganan paling kaya di night club tempat kerjaku. Siapa pun yang dipilih untuk menemaninya, seperti Melan malam ini, pastilah akan langsung kaya mendadak untuk tiga hari. Tetapi, Om Yus jarang sekali memilih yang lain karena Melan adalah kesayangannya. Yang kutahu, mereka berdua sangat dekat walau entah batasnya sampai di mana. Kata Melan, Om Yus tergolong laki-laki yang tidak pelit dan suka membantu-termasuk membiayai operasi tumor adik Melan sebulan yang lalu.

"Hati-hati di jalan, Ra," sapaan ramah Bang Kohor, petugas keamanan night club yang berjaga di posnya yang seperti kotak korek api di samping gerbang, mengagetkanku yang sedang berjalan sambil melamun.

"Ya, Bang. Terima kasih," jawabku tak kalah ramah, lalu berjalan keluar dari pintu gerbang, menuju ke jalan raya yang dihias temaram lampu merkuri dan agak basah oleh sisa hujan sepanjang sore sampai jam sembilan malam tadi. Malam sudah benar-benar sepi. Kupercepat langkahku.

Sebetulnya malam yang seperti ini adalah malam yang selalu kunanti; malam yang damai dan tenang, dengan hanya bulan yang menemani. Setelah tujuh jam berada di ruangan penuh asap rokok dan bau alkohol, terkurung hingar bingar musik dan desah nafas penuh nafsu di antara canda tawa manja, waktu pulang adalah saat yang paling membahagiakan. Ya, aku menunggu pulang hanya untuk bertemu malam yang damai dan tenang di luar tempat kerjaku. Malam yang mampu mengembalikan kekuatan dan membangkitkan kembali semangat hidupku yang telah diperas habis oleh bosku yang memperlakukan karyawannya seperti budak tak bernurani, dengan cemeti di tangan. Aku mendesah lemah. Ingin rasanya cepat-cepat tidur dan bermimpi indah di kamar kosku yang sempit, yang lima belas menit lagi akan kucapai. Bayangan kasur yang empuk dan hangat membuatku mempercepat langkah. Tapi tiba-tiba...

"Cittt...!".

Sebuah mobil Kijang berwarna hijau tua berhenti mendadak agak jauh di depanku, kira-kira dua puluh meter. Melihat dari caranya berhenti, kukira sopirnya mungkin sedang mengantuk atau agak mabuk dan tiba-tiba ingin muntah. Tak peduli, kuteruskan langkah mendekati mobil itu karena rumah kosku berada di belokan jalan, di belakangnya. Aku memang harus melewati mobil itu.

Tapi ketika kakiku baru mulai melangkah, tampak dua orang laki-laki berjaket kulit dan berkacamata hitam turun dari mobil, lalu dengan gerakan secepat kilat langsung menyergapku. Tubuhku dicengkeram. Mulutku dibekap. Aku tak sempat berteriak. Dengan kasar, mereka menarikku masuk ke dalam mobil, meninggalkan sebelah sepatuku yang terlepas dan beberapa pasang mata anjing liar yang menjadi saksi atas kejadian tak terduga itu.

Di dalam mobil yang melaju kencang membelah malam, aku hanya bisa meronta-ronta seperti cacing setengah sekarat yang terinjak kaki manusia, tanpa suara. [Bersambung]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun