Sebuah pengalaman dan dari beberapa catatan perjalanan hidup beberapa orang dapat diringkas dalam kisah Rudi di bawah ini.
Rudi dalam persimpangan jalan untuk menentukan masa depan. Ayah Rudi beri kabar bahwa kebun milik Ayah akan panen buah mangga. Rudi diizinkan panen buah untuk modal usaha. Dia merasa doa terkabul, Tuhan membuka pintu-pintu rejeki, petunjuk dari langit sudah turun. Tinggal eksekusi, gol, selesai.
Benarkah terlaksana? Tunggu dulu.
Getaran hati Rudi (pada setrum pertama) menuntunnya untuk memetik buah mangga muda, yang masih hijau, sebab dari situ dia akan menemukan modal usaha ke depan. Lakukan!
Lalu akal pikir Rudi coba menilai.
Dilihatnya buah mangga di kebun Ayah, dia tidak terkesan pada mangga yang masih hijau. Buahnya belum matang, Kulitnya hijau muram, rasanya kecut sepet. Lalu, Rudi membandingkannya dengan buah mangga berkulit kuning. Rudi sangat terkesan. Buah sudah matang, kulitnya berwarna kuning merangsang, rasanya manis-manis legit. Detik berikutnya ia tercenung: kenapa pilih mangga yang masih hijau? Kenapa bukan mangga yang sudah matang?
Sejurus kemudian Rudi yakin bahwa getaran hatinya cuma pengaruh #baper (kebawa perasaan), tidak logis mangga muda yang hijau lebih menjanjikan masa depan dibanding buah mangga yang sudah matang. Tidak logis! Kejadian masa depan harus logis sejak dalam tebakan, begitu kata si Rudi. Tidak logis tidak boleh terjadi, begitu kata Rudi.
Keputusan sudah diambil: Rudi akan memetik buah mangga matang sebanyak-banyaknya dari kebun milik Ayah. Buah mangga muda dia tidak pedulikan. Karena hanya seperempat buah yang sudah matang, Rudi mengarungi seperempat buah, sisa tiga per empat buah dia abaikan. Seluruh buah mangga hijau dia jual amat murah kepada tetangga.
Apa yang terjadi?
24 jam kemudian pedagang buah berdatangan ke rumah Rudi. Beberapa truk siap angkut buah mangga. Namun alangkah terkejutnya Rudi ketika pedagang buah menawar harga teramat murah. Semurah barang sedekah.
Seorang pedagang buka suara, "Maaf Bung Rudi, buah mangga milik sodara harganya sedang hancur. Biasanya kami beli sekilo seribu rupiah, sekarang ini kami beraninya 100 rupiah sekilo. Gimana?"
Rudi meradang, "Apa? 100 perak sekilo? Lebih baik saya buang ke sungai. Sodara tau ini buah mangga matang, bukan buah mangga muda atau hijau!" tangannya mengepal menahan amarah.
Pedagang senyum-senyum geli, "Hehehe... Begini Bung Rudi... Pembeli sedang tergila-gila sama buah mangga yang masih muda... yang masih hijau... soalnya akan ada karnaval pesta rujak buah selama sebulan penuh. Kamiiii...!" Nada bicaranya tak sabar.
"Buah mangga muda?" Belum habis Rudi terbengong-bengong, si pedagang nerocos lagi.
"Kami datang kemari untuk memborong buah mangga muda. Yang masih hijau. Denger-denger Bung Rudi pegang stok buah mangga muda. Kami heran kenapa Bung Rudi menawarkan buah mangga matang?" sembari melirik ke lima buah truk dan 20 orang kuli.
Rudi tertunduk lesu.
Dalam sekejap, pedagang meninggalkan Rudi sendirian. Semenit kemudian mereka bersorak-sorai di rumah tetangga Rudi. Mereka berebut buah mangga hijau untuk diborong. Buah yang Rudi jual murah meriah kemarin siang. Kemarin Rudi melempar mangga muda tersebut ke tetangga sambil ketawa mengejek, "Ora kere karo pelem ijo!"
Hahahaha....
Yang bikin nyesek dada Rudi adalah mereka berani nawar dua ribu rupiah per kilo, dua kali lipat harga normal buah mangga yang sudah matang. Gila...! Bola Dunia sudah jungkir-balik. Opo tumon harga mangga muda mengalahkan harga mangga mateng?
Rudi baru sadar bahwa firasatnya sudah benar untuk memanen buah mangga muda. Namun, akal pikirnya berhasil menolak firasat. "Andaikata gue panen mangga muda hari ini gua ngantongin duit sekarung. Kenapa gua bego begini!" teriaknya dalam hati.
Sejatinya akal pikir Rudi tidak salah. Logis koq secara keilmuan. Salahnya adalah Rudi sudah minta petunjuk kepada Tuhan, kemudian petunjuk turun dalam wujud firasat, lantas Rudi menolak arahan dari firasat. Sebab nolaknya cuma ini: getaran hati tidak sejalan dengan akal pikiran. Khas penyakit #keminter orang yang selalu bertumpu pada akal pikiran.
Bagi Rudi dkk, cukuplah bertumpu pada akal pikir. Itu baru keren, ilmiah, akademis, bisa diuji dalam laboratorium. Pada saat yang sama Rudi menolak akal hati yang mampu nenerobos tabir masa depan. Sebab tidak ilmiah dst dst dst. Contohnya ketika dia mendapat getaran hati untuk panen mangga muda. Sayangnya Rudi ketiban sial, bukan ketiban hoki.
"Tidak ilmiah, jangan lakukan!" Kata Rudi
***
Posted by Ragile,
Kemang Jakarta Selatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H