Percaya atau tidak: untuk menghentikan semua itu solusinya sangat sederhana yaitu segera nikah. Bila perlu apa adanya, sesederhana mungkin. Percaya atau tidak: keajaiban mudah datang. Segalanya jadi mudah, rejeki mengalir deras dari segala arah. Masalah rumit terkikis dengan sendirinya.
C. Menghentikan Benih-Benih Masalah
Adalah benar bahwa tidak elok menikah hanya karena sudah cukup umur. Namun adalah benar juga jika asyik jadi bujangan "tau-tau" kebablasan termakan usia. Dan adalah benar juga belum komplit hidup ini tanpa pendamping suami/istri sebagai pasangan hidup yang berfungsi saling mengisi agar meraih kualitas kehidupan yang lebih produktif, lebih ceria, lebih bahagia, lebih mampu berbagi rasa dan berbagi tanggung jawab.
Percaya atau tidak: menunda-nunda nikah bisa jadi melahirkan program "swasembada masalah". Di mana bibit-bibit masalah tumbuh lalu mengepung dari segala arah. Yaitu ketika usia Anda dan kemampuan minimal Anda sudah cukup untuk menikah dengan si dia yang terkasih. Bibit-bibit masalah antara lain: dikejar usia, dipertanyakan komitmen cintanya, boros anggaran belanja, kurang percaya diri dalam pergaulan, dan khusus perempuan adalah kurang disegani oleh keluarga.
Sebagai lelaki, berusia 51 tahun dan pernah nikah dua kali, saya anjurkan agar semua pihak tidak mempersulit pasangan yang sudah siap nikah. Sudah saatnya kita kaji kembali rintangan birokratis, tradisi yang bertele-tele, dan budaya hura-hura resepsi pernikahan. Sebab sudah banyak contoh dalam hubungan biaya nikah dan jumlah undangan. Ratusan juta amblas , baru beberapa bulan mau cerai. Ribuan hadirin diundang, rumah tangga bubar jalan bulan depan. Semua orang menyambut baik pengantin baru, usai bulan madu lempar-lemparan sepatu.
Ngenesnya pihak perempuan dalam budaya kita selalu dalam posisi menunggu, bertahan, melayani. Apa boleh buat karena hanya bisa dilamar, diminta jadi istri, diwajibkan melahirkan anak. Plus kudu menyusui. Plus lagi selalu ditakar usia suburnya. Hukum sosial kita pun menempatkan perempaun dalam posisi tersangka bersalah jika terjadi keretakan rumah tangga. Maka semestinya masyarakat lebih mengutamakan perempuan agar lekas nikah jika sudah siap. Pada saat yang sama jangan banyak menuntut pihak lelaki untuk terlebih dahulu memiliki ini-itu sebagai syarat agar jadi calon menantu.
Sebagai muslim saya ingat dulu jaman nabi nikah diselenggarakan secara khidmat dan sederhana. Tapi anehnya koq jaman ini, misalnya di Saudi Arabia, jangan harap bisa memperistri perempuan asli Saudi jika calon suami tidak mampu beri mahar minimal setara 500 juta Rupiah. Di Indonesia sudah umum bahwa meriahnya pesta pernikahan seakan jadi ukuran baku akan kebahagiaan rumah tangga ke depan. Jika terjadi penyimpangan karena belum boleh nikah atau telat nikah, siapa yang salah?
***
Salam Tuljaenak,
Ragile,
Tegal, 28-sep2011