Mohon tunggu...
Randhi P.F.H
Randhi P.F.H Mohon Tunggu... Jurnalis - Editorial

Pembelajar seumur hidup, penulis kelas "kencur" yang berharap tulisannya bisa memberi pencerahan bagi khalayak.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Danau Toba yang (Belum) Bersolek Menjadi Monaco of Asia

6 Mei 2016   02:55 Diperbarui: 6 Mei 2016   16:46 1135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Warga Desa Bandar Purba, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun melakukan evakuasi terhadap bangkai ikan Keramba Jaring Apung (KJA) yang mati di perairan Danau Toba akibat kekurangan oksigen dalam air, Rabu (4/5/2016). Tribun Medan/Royandi HutasoitKABAR tak sedap menguar dari Danau Toba, Simalungun, Sumatera Utara. Sejak 2 Mei 2016 lalu, 300 ton ikan mati di kawasan ternak ikan Keramba Jaring Apung (KJA), Nagori Bandar, Kecamatan Haranggaol Horison. Puncaknya, Kamis 5 Mei, kurang dari sepekan total 1.500 ton ikan mati mengapung dan menguarkan bau busuk.

Yang paling menyesakkan dada, Dinas Pertanian dan Perikanan Simalungun melansir penyebabnya ditengarai kurangnya kadar oksigen air. Kadar normal ikan bertahan hidup 3 Dissolved Oxygen (DO), sedangkan hasil pemeriksaan teranyar 0,8 DO. Duh, mirisnya.

Desas-desus beredar, adanya kemungkinan peracunan air Danau Toba di KJA tersebut. Sebuah tindakan yang diasumsikan berlatar politis demi mengurangi perkembangan ternak ikan KJA. Apalagi tujuh pemerintah daerah yang berkoordinasi dengan pemerintah pusat sedang menyiapkan Danau Toba menjadi Monaco of Asia.

1 Maret2016, Presiden Joko Widodo mengapungkan ikhtiar menjadikan Danau Toba menjadi daerah wisata internasional dengan tagline Monaco of Asia. Tujuh kepala daerah yang turut mendukung perwujudan ikhtiar tersebut. Ikhtiar yang tentu tak mengada-ada, Danau Toba dengan bentang alam nan aduhai sedemikian, lebih dari layak untuk menjadi destinasi wisata nasional.

Danau Toba hingga kini menelurkan dua wadah penghasilan bagi masyarakat setempat, pariwisata dan perikanan. Namun, sektor pariwisata boleh dikata belum terkelola begitu apik. Walhasil, kemeriahan kedatangan pelancong lokal dan mancanegara ibarat itil (ilang-ilang timbul), demikian kami menyebut penggambaran kondisi itu di sini.

Akomodasi, kerajinan tangan, perhotelan tidak begitu bergemuruh hasil dan penghasilannya. Masyarakat termasuk perusahaan-perusahaan yang bak benalu menyedot untung, lebih memilih gebyar hasil perikanan. Peliknya dengan sistem KJA. Sampai di sini, aku tak akan menuding desas-desus sabotase bermuatan politis, sebagai asumsi yang patut disalahkan. Silakan saja.

Begitu pun, mari menilik problem ribuan ton ikan mati ini secara mendasar dan menyeluruh.

Kilas balik, 1996 lalu Keramba Jaring Apung di Danau Toba diperkenalkan pada masyarakat di Haranggaol. Investor besar asal Swiss mengenalkan budidaya ikan air tawar ini, yang sanggup membuat kepincut masyarakat dan pemerintah daerah.

DanauToba begitu sempurna bagi ikan tawar berkualitas karena kedalamannya yang sangat dalam. Bukan rahasia lagi, kalau ikan KJA Danau Toba memiliki pangsa pasar nan luas hingga diekspor ke daratan Eropa dan Amerika.

Ditahun-tahun berikutnya, perkembangannya teramat pesat. Tak lagi sekadar dikelola sang investor, banyak pula masyarakat yang menyasarnya dan membuat keramba sendiri. Walhasil, desa-desa lain pun turut melakoninya. PinggiranDanau Toba semarak dengan KJA. Mau tak mau, sektor pariwisata cuma dipandang sebelah mata, jika enggan disebut 'ditinggalkan'.

Ikhwalnya untung begitu memukau, seiring waktu buntung pula yang dilarung, meski mungkintidak disadari. Pertambahan KJA nan pesat diiringi pakan berkandung bahan kimia nan sarat pula. Secara kasat indera, tiap pelancong (termasuk aku) yang berenang di Danau Toba akan membaui amis ikan.

Para aktivis lingkungan dan peneliti menyebutkan air Danau Toba kini terkontaminasi oleh unsur-unsur nitrat, nitrit, sulfat, kalium. Kandungan yang bermuasal dari pakan berbahan kimia pada ikan-ikan di KJA nan massif itu.

Tak mengherankan bila berton-ton ikan mati. Betapa tidak, pembudidayaan KJA yang tidak terkontrol berbanding lurus dengan pencemaran air danau. Belum lagi pengaruh dari fluktuasi atau pun anomali cuaca. Pergeseran lempeng di dasar Danau Toba berpotensi menaikkan kembali limbah-limbah kimia ke permukaan danau sekaligus menewaskan ikan.

Pelepasan air Danau Toba hanya satu yakni Sungai Asahan. Bila dinalar secara sederhana, pergantian air danau teramat lambat. Wajar, bila pakan berkimia akan mengendap lama dan meracuni kualitas dan menurunkan kadar oksigen air.

Menilik ke belakang, peristiwa ikan mati di Haranggaol bukanlah pertama kali terjadi. Pada 2004 dan 2014 hal serupa juga terjadi. Sulitkah mempelajari penyebabnya kala itu? Masihkah layak bila dimunculkan asumsi rekayasa politis? Apakah di tahun itu sudah dimunculkan gagasan Monaco of Asia? Sila kita renungkan.

Perketat Perizinan
DanauToba tidak bisa tidak merupakan anugerah Tuhan bagi warga Sumatera Utara khususnya dan Indonesia umumnya. Sepatutnya dirawat dan diindahkan sepenuh hati. Bila ingin mendulang untung dari sisi bisnis, sektor pariwisatalah yangmutlak digenjot untuk mendatangkan lembaran fulus.

Budidaya perikanan tentu tidak keliru untuk dikembangkan. Namun, memiliki porsi dan pengelolaan serius. Para kepala daerah di tujuh kabupaten yang berwenang (Samosir, Toba Samosir, Simalungun, Tapanali Utara, Humbang Hasundutan, Dairi dan Karo) hendaknya lebih getol dan peka mewujudkan kepantasannya menjadi destinasi wisata internasional.

Cara-cara simpel yang bisa ditetak, semisal pembatasan izin KJA. Memberi sanksi pada investor KJA yang tidak menurut aturan. Mengatur dan mengontrol kualitas air danau. Dapat pula mengurangi populasi KJA yang teramat merusak estetika (keindahan) perwajahan Danau Toba ini. Tak sekadar peneluran regulasi, tetapi mutlak dibarengi political will. Supaya dapat menghempang 'salam-salam bawah meja' demi kepentingan jangka panjang dan umum.

Kepada masyarakat, hendaknya diberikan pemahaman secara persuasif. Selain sosialisasi teknis berbudidaya ikan yang patut, dapat pula mendatangkan para ahli, akademisi untuk mengarahkan laku dan kesadaran merawat lingkungan sekitar danau.

Selaras dengan itu, perlu menetak terobosan dengan membangun pusat-pusat kesenian tradisi, kuliner dan kerajinan tangan. Mengembangkan standardisasi pelayanan perhotelan, travel, transportasi dan infrastruktur. Yang terakhir disebut memang sedang berjalan.

Dengan demikian, Danau Toba yang menjadi tanggung jawab bersama dapat dipoles seapik dan secantik mungkin. Monaco of Asia pun tak sekadar dapat tetapi lebih cepat mewujud. Sungguh indah terpermai Danau Toba yang Tuhan anugerahkan. Jika kita bersyukur, bertindak terukur, maka fulus pun turut mengucur. Save Danau Toba.

Medan, Jumat 6 Mei 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun