Mohon tunggu...
Rafly AlzetaMaulana
Rafly AlzetaMaulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi Universitas Andalas

Menulis artikel untuk lebih mengenalkan lagi pentingnya kesehatan mental

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konflik Orangtua: Mengungkap Pengaruhnya Terhadap Kesejahteraan Psikologis Anak

16 Januari 2024   09:21 Diperbarui: 16 Januari 2024   09:52 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Young On Top

Kemudian dalam dinamika konflik orang tua, faktor-faktor seperti kepribadian yang kasar, gangguan psikologis, ketidakmampuan interpersonal, kemarahan, permusuhan, dan gaya berinteraksi yang berbeda, sebagaimana ditegaskan oleh Syahrudin (2016), juga dapat menjadi pemicu utama terjadinya konflik dalam rumah tangga. Adanya perbedaan dalam karakteristik kepribadian dan pola interaksi ini dapat menciptakan ketidaknyamanan, ketegangan, dan pertentangan, yang pada akhirnya meningkatkan potensi terjadinya konflik. Selain itu, penting untuk disadari bahwa semua faktor tersebut, bersama dengan ketimpangan dalam alokasi sumber daya ekonomi dan kekuasaan yang telah diidentifikasi sebelumnya, memiliki dampak serius terhadap kesejahteraan psikologis anak-anak. Konflik orang tua yang berkelanjutan dan intens dapat membentuk lingkungan yang tidak stabil dan menimbulkan tekanan emosional pada anak-anak, berpotensi mempengaruhi perkembangan dan kesejahteraan mental mereka secara signifikan. Dapat dikatakan bahwa usaha untuk mengelola konflik orang tua tidak hanya mendukung kelangsungan hubungan pasangan, tetapi juga memiliki dampak langsung pada kesejahteraan psikologis anak-anak.

Dampak konflik orang tua terhadap kesejahteraan psikologis anak dapat menjadi determinan penting dalam pembentukan karakter dan pengendalian emosi anak di masa depan. Seperti yang disoroti oleh Asril (2017), jika seorang anak memperoleh cinta dan perhatian yang dibutuhkannya dari orang tua, ia berpotensi berkembang menjadi individu yang baik karena emosinya pada masa kanak-kanaknya berjalan dengan normal dan terkendali. Sebaliknya, anak yang mengalami pengalaman negatif bahkan sejak usia dini dapat tumbuh sebagai individu dengan emosi yang sulit dikendalikan. Dalam konteks konflik orang tua, ketidakpastian dan kecemasan yang dihasilkan dari konflik dapat membawa dampak serius pada kesejahteraan emosional anak-anak. Paparan yang berkepanjangan pada konflik dapat menyebabkan ketidakstabilan emosional, mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengelola emosi dengan baik, dan bahkan membentuk pola perilaku yang dapat berlangsung hingga dewasa. 

Kemudian kita dapat melihat konflik orang tua terhadap bentuk perilaku anak, penelitian yang dilakukan oleh Valdés Cuervo et al. (2018) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara konflik orang tua dan kehadiran perilaku agresif pada anak. Hasil penelitian ini memaparkan bahwa konflik orang tua menjelaskan adanya perilaku agresif pada anak melalui proses observasi mereka terhadap model perilaku agresif yang dipresentasikan oleh orang tua. Proses observasi tersebut menciptakan sebuah dinamika di mana anak-anak, sebagai hasil dari paparan mereka pada konflik orang tua, cenderung meniru dan menginternalisasi pola perilaku yang agresif. Ketika anak-anak menyaksikan orang tua menunjukkan perilaku agresif, hal ini membentuk landasan bagi adopsi perilaku serupa dalam interaksi mereka dengan lingkungan sekitar. Sebagai contoh, ketika mereka menyaksikan konflik verbal atau fisik antara orang tua, anak-anak dapat menganggap perilaku agresif sebagai metode yang dapat digunakan untuk mengekspresikan diri atau menanggapi konflik.

Sebelumnya, kita menggali kedalaman konflik orang tua sebagai katalisator perilaku agresif pada anak-anak melalui observasi terhadap model perilaku agresif yang diperankan oleh orang tua (Valdés Cuervo et al., 2018). Keberlanjutan pemahaman ini tergambar secara jelas dalam penelitian Shahinuzzaman et al. (2019), yang membuka lapisan baru pemahaman dan mengindikasikan bahwa remaja yang mengalami tingkat konflik orang tua yang lebih tinggi menunjukkan kecenderungan untuk menampilkan perilaku impulsif yang lebih tinggi dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Transisi yang alami dari konflik orang tua sebagai pemicu perilaku agresif menuju implikasi yang lebih luas pada perkembangan remaja memberikan gambaran tentang kompleksitas dinamika keluarga. Dalam konteks ini, penelitian Shahinuzzaman dkk mengungkapkan bahwa konflik orang tua tidak hanya menciptakan dampak segera pada anak-anak, melainkan juga memberikan keterkaitan yang kuat dengan perkembangan perilaku remaja. Dengan kata lain, pengaruh konflik orang tua tidak dapat diabaikan sebagai fenomena yang terisolasi; sebaliknya, dampaknya meresap ke dalam berbagai aspek kehidupan anak-anak di masa transisi mereka menuju kedewasaan.

Dalam konteks kompleks konflik orang tua, penting untuk melihat bahwa dampak negatifnya tidak hanya bersifat terbatas pada hubungan orang tua itu sendiri, tetapi meresap ke dalam pola pengasuhan dan kesejahteraan anak-anak. Menurut temuan penelitian Lee dkk. (2015), konflik orang tua dapat menjadi katalisator untuk praktik pengasuhan yang merugikan, membuka pintu bagi timbulnya perilaku internalisasi pada anak-anak, seperti depresi dan kecemasan. Pentingnya pemahaman ini terletak pada pemahaman bahwa konflik orang tua tidak sekadar menciptakan suasana yang tidak nyaman dalam rumah tangga; konflik tersebut menciptakan dasar yang dapat memberikan dampak jangka panjang pada perkembangan anak-anak. Konflik yang berkepanjangan di antara orang tua menciptakan lingkungan rumah yang tidak stabil, mempengaruhi kemampuan orang tua untuk memberikan dukungan emosional yang konsisten kepada anak-anak. Hal ini, pada gilirannya, memberikan sumbangan yang signifikan terhadap munculnya masalah kesejahteraan mental pada anak-anak.

Kemudian jika kita melihat penelitian oleh Hess (2022) menyajikan temuan yang menunjukkan bahwa peningkatan konflik antar orang tua membawa konsekuensi pada praktik pengasuhan yang lebih kurang hangat dan komunikasi yang lebih negatif di antara orang tua. Hal ini, pada akhirnya, berdampak pada kesejahteraan sosial anak-anak. Peningkatan konflik orang tua, seperti yang diindikasikan oleh hasil penelitian, menciptakan lingkungan rumah tangga yang kurang kondusif untuk praktik pengasuhan yang penuh kasih dan komunikasi positif. Orang tua yang terlibat dalam konflik yang lebih intens cenderung menunjukkan perilaku yang kurang hangat dan komunikasi yang lebih negatif. Dampak ini meresap ke dalam kesejahteraan sosial anak-anak, menciptakan tantangan tambahan dalam pengembangan hubungan dan keterampilan sosial mereka.

Melanjutkan dari temuan Hess (2022) tentang konflik orang tua yang merugikan praktik pengasuhan dan komunikasi positif, penelitian oleh Zhao (2021) menambah dimensi kompleks dalam pemahaman dampak konflik orang tua. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa konflik orang tua juga dapat memicu perkembangan perilaku anti-sosial pada anak-anak. Keterlibatan anak-anak dalam lingkungan keluarga yang dipenuhi dengan konflik orang tua dapat membentuk pola perilaku anti-sosial. Dalam konteks ini, kecenderungan terlibat dalam konflik yang tidak terselesaikan atau berkepanjangan dapat menciptakan tantangan tambahan bagi anak-anak untuk memahami dan merespon secara sehat terhadap dinamika sosial di sekitar mereka. Pemahaman ini menghubungkan secara langsung dengan temuan sebelumnya oleh Hess (2022), menggambarkan bagaimana konflik orang tua dapat menyentuh berbagai aspek perkembangan anak-anak, termasuk dimensi perilaku sosial.

Selanjutnya berdasarkan penemuan Muthuri Marete dan Mburugu (2019) menyoroti bahwa siswa yang tumbuh dalam rumah tangga dengan konflik orang tua cenderung memiliki harga diri dan nilai diri yang rendah. Konflik tersebut dapat menciptakan ketidakstabilan, kecemasan, dan atmosfer yang tidak aman dalam keluarga, memberikan dampak negatif pada persepsi diri anak-anak. Observasi terhadap konflik juga bisa mempengaruhi cara anak-anak menilai diri mereka sendiri, dengan potensi internalisasi pola perilaku yang merugikan. Selain itu, kurangnya dukungan emosional yang konsisten dari orang tua dalam konteks konflik dapat membawa pada perasaan kurang dihargai dan tidak dicintai. Dalam keseluruhan, hal ini menunjukkan bahwa konflik orang tua tidak hanya mempengaruhi hubungan keluarga, tetapi juga memiliki konsekuensi mendalam terhadap kesejahteraan psikologis anak-anak, menegaskan urgensi perlunya intervensi holistik untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan positif mereka.

Konflik orang tua yang bersifat merusak, seperti yang diteliti oleh McCoy, George, Cummings, dan Davies (2013), tidak hanya menciptakan disharmoni antara orang tua, tetapi juga berdampak serius pada penyesuaian sosial anak-anak. Temuan ini menunjukkan bahwa perilaku asosial menjadi salah satu dampak yang mencolok, membentuk pola perilaku anak-anak yang cenderung mengarah pada pengucilan oleh teman sebaya. Pentingnya mengaitkan temuan ini dengan penelitian sebelumnya, yang menunjukkan bahwa konflik orang tua dapat memicu perkembangan perilaku anti-sosial pada anak-anak (Zhao, 2021), terletak pada pemahaman bahwa konflik orang tua tidak hanya memiliki dampak internal pada anak-anak, tetapi juga memengaruhi interaksi sosial mereka. Dalam konteks ini, konflik yang bersifat destruktif dapat menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi perkembangan keterampilan sosial anak-anak. Risiko pengalaman isolasi dan pengucilan dalam interaksi sosial dengan teman sebaya menjadi lebih tinggi.

Konflik orang tua sebagai elemen tak terhindarkan dalam keluarga, terbukti memiliki dampak serius terhadap kesejahteraan psikologis anak-anak. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa konflik ini tidak hanya menciptakan ketidaknyamanan dan ketegangan dalam lingkungan keluarga, tetapi juga meresap ke dalam perilaku, emosi, dan perkembangan sosial anak-anak. Dari analisis literatur yang telah dipresentasikan, dapat disimpulkan bahwa konflik orang tua memainkan peran krusial dalam membentuk pola perilaku agresif, perilaku impulsif, serta mengakibatkan gangguan internalisasi seperti depresi dan kecemasan pada anak-anak. Ketidaksetaraan dalam alokasi sumber daya ekonomi dan kekuasaan, bersama dengan faktor-faktor kepribadian dan interaksi yang kompleks, semakin memperumit dampak konflik ini pada kesejahteraan anak-anak. Sebagai solusi, mendukung upaya pencegahan dan penanganan konflik orang tua menjadi esensial. Melalui pemahaman mendalam terhadap pemicu konflik dan membangun komunikasi yang efektif dalam keluarga, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih stabil bagi perkembangan anak-anak. Langkah-langkah pendukung, seperti konseling keluarga, pelatihan komunikasi, dan pemahaman akan pentingnya pembagian sumber daya yang adil, dapat menjadi landasan untuk mengurangi dampak negatif konflik orang tua. Dengan demikian, perhatian dan tindakan preventif pada tingkat individu dan sosial dapat membantu menciptakan keluarga yang lebih sehat dan mendukung kesejahteraan psikologis anak-anak. Kesadaran akan pentingnya memberikan perlindungan dan dukungan kepada anak-anak yang terpapar konflik orang tua menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan positif. Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan dampak konflik orang tua, kita dapat bersama-sama berkomitmen untuk menciptakan masyarakat yang lebih peduli dan berempati terhadap kebutuhan kesejahteraan anak-anak. Melalui sinergi antara keluarga, komunitas, dan pemerintah, kita dapat membangun fondasi yang kokoh bagi generasi masa depan, di mana setiap anak dapat tumbuh dan berkembang dengan potensi penuh mereka.

DAFTAR PUSTAKA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun