Mohon tunggu...
Achmad Raflie Pahlevi
Achmad Raflie Pahlevi Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penulis Lepas

Menulis untuk keabadian

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya Instan

9 April 2022   19:19 Diperbarui: 9 April 2022   19:23 2548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Makanan dan minuman instan begitu digemari masyarakat negeri ini, karena kemudahan dan kepraktisannya, sehingga dapat dinikmati kapanpun dan dimanapun. Meskipun tak seenak makanan dan minuman yang benar-benar dibuat melalui proses yang panjang. Seperti kopi, tentunya kopi yang dibuat di kafe, lebih nikmat dibandingkan kopi sachetan yang kita seduh sendiri di rumah.

Menurut KBBI, instan berarti langsung di makan atau diminum. Makanan dan minuman instan meskipun mudah dan praktis, tetapi tidak baik jika dikonsumsi terus menerus, karena mengandung bahan kimia yang dapat berbahaya pada tubuh, seperti pengawet makanan. Berbeda dengan makanan dan minuman instan yang tak masalah jika dikonsumsi dalam jumlah sedikit, budaya instan dapat berbahaya begitu kita mulai nyaman dengannya.

Apasih yang dimaksud budaya instan?

Budaya instan adalah salah satu pola pikir yang berkembang di masyarakat, yang menginkan suatu hal dengan cara yang mudah, tanpa melalui suatu proses yang seharusnya. Salah satu contoh budaya instan yang berkembang di masyarakat kita belakangan ini adalah ingin cepat kaya dan ingin cepat cantik.

Apakah salah jika seseorang ingin cepat kaya?

Tentu tak salah, jika dia mengalami proses yang semestinya, tetapi akan menjadi salah jika dia mengambil jalan pintas atau instan. Seperti yang belakangan terjadi penangkapan para affiliator binary option, yaitu Indra Kenz dan Doni Salaman. Kasus yang menjerat Indra Kenz dan Doni Salaman tergolong sebagai investasi bodong, hanya saja menggunakan metode yang lebih modern.

Investasi bodong sendiri sudah ada di masyarakat sejak akhir tahun 1970an. Iming-iming yang sama dikeluarkan oleh para penyedia investasi bodong, yaitu return yang tinggi dengan waktu yang cepat, bahkan returnnya dijanjikan bisa sampai 300-500% dalam waktu satu tahun.

Sebenarnya mudah untuk melihat apakah investasi itu tergolong bodong atau bukan. Salah satunya bisa dengan melihat model bisnisnya jelas atau tidak, serta yang paling penting investasi yang benar tak akan mungkin menjanjikan imbal return yang pasti, apalagi dengan nilai return yang begitu tinggi. Jika imbal return yang dijanjikan tinggi, apalagi dalam waktu yang singkat, sudah bisa dipastikan investasi itu adalah investasi bodong.

Meskipun mudah dilihat dan terang benderang, tetapi tetap saja banyak masyarakat di negeri ini yang terjerat pada investasi bodong. Penyebab utamanya tentulah budaya instan, ingin cepat-cepat menjadi kaya, tanpa perlu lelah bekerja.

Contoh budaya instan lainnya dalam masyarakat adalah keinginan orang untuk cepat cantik. Apakah ini salah?

Tentu tidak salah, tetapi jika tidak melalui proses yang tak semestinya, pastinya punya efek samping yang dapat merugikan. Para perempuan yang berlomba-lomba ingin terlihat cantik berlomba-lomba dalam memoles dirinya. Ada yang perawatan ke dokter, operasi, sampai memakai krim-krim wajah abal-abal.

Para perempuan ini memilih memakai krim abal-abal yang banyak menggunakan merkuri dan tidak memiliki izin dari BPOM. Ini mereka lakukan, semata-mata karena harga krim yang murah dan dijanjikan perubahan yang relatif singkat pada wajah mereka. Dalam waktu singkat, wajah mereka dijanjikan akan menjadi lebih putih, bersih, dan bebas jerawat.

Bukannya menjadi cantik, putih, dan bebas jerawat, para perempuan yang pakai krim abal-abal ini justru mendapati perubahan yang tak diinginkannya. Ada yang jerawatnya justru bertambah banyak, ada yang sampai mengeluarkan darah, bahkan ada yang kulit wajahnya terbakar. Dampak ini mereka dapatkan, hanya agar terlihat cantik dalam waktu yang retalif singkat.

Dari dua contoh di atas, budaya instan sering kali membawa efek yang merugikan bagi siapa saja yang menerapkannya. Kehilangan uang, modal usaha, bahkan tempat tinggal dapat terjadi, bagi siapa saja yang ingin cepat kaya. Bukannya berlimpah harta, justru mereka jadi hidup melarat. Perempuan yang ingin cepat menjadi cantik juga bukannya mendapatkan hasil yang mereka harapkan, justru mendapati wajah mereka berubah jadi buruk rupa.

Perlahan demi perlahan, kita harus mengikis budaya instan dari masyarakat, agar kita bisa lebih menghargai proses dibandingkan hasil yang didapatkan. Pertama-tama mungkin kita bisa menerapkannya ke sekolahan. Anak-anak yang sekolah tidak perlu selalu dibebankan untuk mendapatkan nilai yang baik, tetapi justru penerapan ilmu yang mereka dapatkan. Jadi mereka tidak akan mencari jalan instan agar nilai mereka bagus dengan cara mencontek.

Budaya instan ini harus terus kita kikis agar tidak mendarah daging dan berbudaya di masyarakat kita. Salah satu dampak yang masif dapat dirasakan dari dampak budaya instan dari orang-orang yang ingin cepat kaya dan dapat merugikan kemajuan suatu bangsa, adalah korupsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun