Para perempuan ini memilih memakai krim abal-abal yang banyak menggunakan merkuri dan tidak memiliki izin dari BPOM. Ini mereka lakukan, semata-mata karena harga krim yang murah dan dijanjikan perubahan yang relatif singkat pada wajah mereka. Dalam waktu singkat, wajah mereka dijanjikan akan menjadi lebih putih, bersih, dan bebas jerawat.
Bukannya menjadi cantik, putih, dan bebas jerawat, para perempuan yang pakai krim abal-abal ini justru mendapati perubahan yang tak diinginkannya. Ada yang jerawatnya justru bertambah banyak, ada yang sampai mengeluarkan darah, bahkan ada yang kulit wajahnya terbakar. Dampak ini mereka dapatkan, hanya agar terlihat cantik dalam waktu yang retalif singkat.
Dari dua contoh di atas, budaya instan sering kali membawa efek yang merugikan bagi siapa saja yang menerapkannya. Kehilangan uang, modal usaha, bahkan tempat tinggal dapat terjadi, bagi siapa saja yang ingin cepat kaya. Bukannya berlimpah harta, justru mereka jadi hidup melarat. Perempuan yang ingin cepat menjadi cantik juga bukannya mendapatkan hasil yang mereka harapkan, justru mendapati wajah mereka berubah jadi buruk rupa.
Perlahan demi perlahan, kita harus mengikis budaya instan dari masyarakat, agar kita bisa lebih menghargai proses dibandingkan hasil yang didapatkan. Pertama-tama mungkin kita bisa menerapkannya ke sekolahan. Anak-anak yang sekolah tidak perlu selalu dibebankan untuk mendapatkan nilai yang baik, tetapi justru penerapan ilmu yang mereka dapatkan. Jadi mereka tidak akan mencari jalan instan agar nilai mereka bagus dengan cara mencontek.
Budaya instan ini harus terus kita kikis agar tidak mendarah daging dan berbudaya di masyarakat kita. Salah satu dampak yang masif dapat dirasakan dari dampak budaya instan dari orang-orang yang ingin cepat kaya dan dapat merugikan kemajuan suatu bangsa, adalah korupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H