[caption id="attachment_312972" align="alignnone" width="450" caption="Laut Cina Selatan (http://asw.newpacificinstitute.org/?p=11265)"][/caption]
Sebagaimana banyak diramalkan oleh para pengamat, Konflik Laut Cina Selatan akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan energi negara-negara besar seperti Cina. Perseteruan antara Cina vs Philipina atas kepulauan Scarborough, Cina vs Brunei Darussalam, Vietnam, Taiwan, Malaysia dan Philipina atas Kepulauan Spratly serta yang paling "hit" akhir-akhir ini adalah Cina vs Vietnam atas klaim kepemilikan kepulauan Paracel, dimana Cina secara tegas mengakui klaim kepemilikan Kepulauan tersebut dengan mendirikan kilang pengeboran minyak dan gas di perairan yang disengketakan. Kondisi ini menjadikan kawasan Laut Cina Selatan sebagai kawasan "terpanas" di dunia saat ini yang tentunya berdampak buruk pada stabilitas keamanan kawasan Asia khususnya Asia Tenggara.
Pertanyaannya sekarang adalah kenapa Cina menganggap Laut Cina Selatan begitu penting sehingga mereka rela mengambil resiko yang begitu besar (potensi konflik terbuka) dengan banyak negara terutama di kawasan ASEAN dan mengabaikan tanggung jawab moralnya sebagai bagian dari anggota tetap Dewan Keamanan PBB? Pertanyaan selanjutnya tentu dampak apa yang akan dihadapi bagi kawasan apabila hal ini tidak segera dilakukan antisipasi dan apa peranan penting Indonesia di sini serta kendalanya?
Bukan Hanya Kekayaan Alam namun juga "Jalur Sutera" dan Strategi Disposisi Kapal Selam Bertenaga Nuklir.
Istilah "Jalur Sutera" pertama kali dipopulerkan oleh seorang berkebangsaan Jerman, Von Richtofen pada abad 18 yaitu jalur perdagangan yang menghubungkan antara Asia dan Eropa. Dibagi menjadi 2 jalur utama yaitu Utara dan Selatan, bagian Utara lebih kepada jalur darat yang menghubungkan Cina-Eropa hingga Laut Mati sementara Jalur Selatan menghubungkan antara Cina-Laut Cina Selatan-Selat Malaka-India menuju Kashgar. Jalur ini menjadi jalur perdagangan penting juga pasokan energi yang strategis bagi Cina. Sebagaimana diketahui, 60% pasokan energi Cina melalui jalur ini. Terlepas dari faktor kekayaan alam yang luar biasa terkandung dalam Laut Cina Selatan, posisi geografis Laut Cina Selatan dinilai sangat strategis bagi kelangsungan hidup rakyat Cina.
Selain daripada itu, secara geostrategis dan geopolitik, kawasan Laut Cina Selatan merupakan sasaran strategi dominasi Cina guna perimbangan kekuatan dengan AS yang menguasai Kawasan Laut Mediterania dan Karibia. Oleh karenanya, membangun kekuatan militer yang berbasis pada teknologi kelautan menjadi prioritas utama Cina dalam strategi militernya. Salah satunya Cina saat ini tengah bersiap memperkenalkan teknologi militer lautnya yang baru Ship, Submersive, Ballistic, Nuclears (SSBNs) Jin-class yang akan digunakan dalam Submarine Launched Ballistic Missiles (SLBMs) dengan jarak jangkau mencapai hingga 8.000 km lebih yang saat ini ditempatkan pada perairan Hainan di Laut Cina Selatan.
Sebagai upaya perimbangan kekuatan di kawasan, maka penempatan kekuatan militer yang begitu massive oleh Cina di Laut Cina Selatan dapat dikatakan kawasan tersebut merupakan perimeter terdepan Cina yang bernilai strategis dan penting bagi kepentingan nasionalnya. Prioritas ini menjadikan Cina "sedikit" mengabaikan tanggung jawab moralnya sebagai anggota tetap DK PBB.
Ketegangan Kawasan Laut Cina Selatan dapat berdampak luas hingga melibatkan "other state actor."
Kira-kira 2 bulan lalu, Presiden AS, Barack Obama melakukan kunjungan ke 4 negara Asia selama 8 hari, Jepang, Korea Selatan, Philipina dan Malaysia. "Asia visit" Presiden Obama tersebut, bertujuan meyakinkan para sekutu AS bahwa AS siap hadir dimanapun dan kapanpun ketika diperlukan. Penasehat Keamanan Nasional AS, Susan Rice menyebutkan, "Look to the United States as partner of first choice." (Lihat AS sebagai pilihan pertama berteman). Ketegangan situasi kawasan Laut Cina Selatan tentunya menjadi peluang AS untuk "masuk" ke kawasan tersebut dengan alasan membela sekutunya, namun demikian tentunya hal tersebut diperkirakan justru akan semakin menambah ketegangan, bukan hanya antara Cina dan negara-negara kawasan namun juga antara Cina dan AS yang dampaknya akan semakin meluas. Para sekutu AS di Laut Cina Selatan tentunya akan menggunakan kekuatan AS sebagai imbangan bagi kekuatan Cina di kawasan, sebagaimana dilakukan Jepang dan Korea Selatan.
Peranan Indonesia ada di Aceh, Selat Malaka dan Natuna
Menghadapi persoalan Laut Cina Selatan, menurut saya Indonesia tidak boleh abai dengan melihat keuntungan geostrategis dan geopolitik yang ada. Posisi Indonesia yang strategis secara geografis menempatkan Indonesia memiliki nilai tawar yang besar bagi negara-negara di kawasan. Sabang, Aceh diyakini selama ini merupakan "gerbang masuk" Selat Malaka yang merupakan kawasan perairan strategis yang sangat bernilai bagi negara-negara Asia dan Eropa di antaranya Cina. Pertumbuhan ekonomi yang hebat sebuah negara selalu disertai peningkatan konsumsi yang sangat tergantung pada sumber daya lama kelautan, demikian juga Cina. Kebutuhan pasokan energi Cina banyak berasal dari Iran, Arab Saudi dan Angola melalui perairan Indonesia seperti Selat Malaka, Lombok dan Sunda. Hal ini tentu menjadikan perairan Indonesia sebagai "strategic checkpoint" bagi Cina untuk mengamankan pasokannya. 60.000 kapal pengangkut energi Cina melewati perairan Indonesia setiap tahunnya dengan membawa setidaknya 25% barang perdagangan global, 60% pasokan energi Cina melalui perairan ini dan diperkirakan akan meningkat pada tahun 2015 menjadi 75%. Oleh karenanya, di sinilah posisi tawar Indonesia. Mulai dari Sabang, Selat Malaka hingga Kepulauan Natuna menjadi "strategic checkpoint" penting bagi Cina untuk mengamankan pasokannya.
Dalam posisi penting ini, penempatan kekuatan strategis/militer di Sabang, Selat Malaka dan Natuna seharusnya menjadi prioritas pertahanan Indonesia sebagai detterence sekaligus kekuatan antisipatif potensi konflik yang lebih luas di kawasan. Memang terdapat kendala politis seperti di Sabang Aceh, dimana penambahan kekuatan TNI di Aceh dibatasi jumlahnya oleh MoU Helsinki (Perjanjian damai antara RI dan GAM), namun demikian, pengkajian butir-butir yang telah disepakati bukan tidak mungkin diratifikasi demi kepentingan nasional yang berbasiskan pada konstitusi Indonesia sebagai hukum tertinggi yang ada di Indonesia. Selanjutnya, sebagai entitas ASEAN, peran Indonesia dapat dimanfaatkan di konflik Laut Cina Selatan dengan mempertimbangkan posisi tawar Indonesia yang begitu tinggi bagi Cina dengan menggunakan soft power diplomacy, menggagas dan menyeleggarakan dialog antara Cina dan negara-negara yang bertikai di Laut Cina Selatan.
Pemanfaatan Sabang sebagai "gerbang masuk" ke Selat Malaka dan Kepulauan Natuna sebagai "gerbang masuk/keluar" menuju Laut Cina Selatan/Selat Malaka akan menjadikan posisi Indonesia tidak saja semakin penting di kawasan namun juga di dunia.
Think Global act Locally,
Rafli Hasan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H