Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia atau yang selanjutnya disebut UUDS 1950, merupakan konstitusi yang berlaku di negara Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1950 sampai dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dasar keberlakukan UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, yang di tuangkan dalam sidang Pertama babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta. Pada dasarnya konstitusi ini dinamakan “sementara” karena memang faktanya keberlakuan dari UUDS hanyalah bersifat sementara hingga terpilihnya konstituante hasil pemlihan umum yang akan menyusun konstitusi baru. Sifat sementara dari UUDS secara jelas tertuang dalam rumusan pasal 134 yang mengharuskan Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah segera menyusun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang bertujuan untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Selain itu, UUDS 1950 juga hanya bersifat mengganti, bukan merubah, maka konsekuensinya adalah UUDS tidak hanya mencerminkan perubahan terhadap Konstitusi RIS Tahun 1949, akan tetapi sekaligus mengganti naskah Konstitusi RIS dengan naskah baru sama sekali dengan nama Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Lembaga-lembaga negara yang ada pada masa berlakunya UUDS menurut Pasal 44 yaitu:
1. Presiden dan Wakil Presiden
2. Menteri-menteri
3. Dewan Perwakilan Rakyat
4. Mahkamah Agung
5. Dewan Pengawas Keuangan.
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa sudah ada pembagian kekuasaan yang jelas antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Presiden yang berkedudukan sebagai kepala negara dibantu oleh wakil presiden, sedangkan mentri sebagai eksekutif/pelaksana pemerintahan. Berdasarkan Pasal 51 UUDS 1950, Presiden menunjuk seorang atau beberapa orang pembentuk kabinet setelah itu sesuai dengan anjuran pembentuk kabinet presiden mengangkat seorang menjadi perdana mentri dan mengangkat mentri-mentri yang lain. Menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.Sebagai kepala negara berdasarkan Pasal 84 Presiden berhak untuk membubarkan DPR. Kekuasaan legislatif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat mewakili seluruh rakyat Indonesia dan terdiri sejumlah anggota yang besarnya ditetapkan berdasarkan atas perhitungan setiap 300.000 jiwa penduduk WNI mempunyai seorang wakil (Pasal 56 UUDS 1950).
Kekuasaan Yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung. Berdasarkan Pasal 105 Ayat 1 UUDS 1950 bahwa Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi. Itu artinya tidak ada pengadilan lain yang sederajat dengan kedudukan Mahkamah Agung saat itu dan Mahkamah Agung dapat melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan-pengadilan yang lain. Mahkamah Konstitusi saat itu belum ada, karena tidak diperlukan suatu lembaga khusus yang menguji suatu peraturan undang-undang dengan Undang-Undang Dasar, terlebih lagi berdasarkan Pasal 95 UUDS terdapat ketentuan bahwa Undang-Undang tidak dapat di ganggu gugat. Menurut Dr.Fatmawati S.H., M.H pada kuliah sejarah konstitusi pada 8 April 2015, dinyatakan bahwa pengujian undang-undang hanya dapat dilakukan kepada undang-undang di negara bagian, undang-undang tidak dapat di ganggu gugat, dan terhadap undang-undang yang sudah ada tidak dapat dilakukan penafsiran lebih lanjut.
Sebagai lembaga yudikatif yang menjalankan fungsi mengadili dari pelaksanaan UUDS, pengangkatan Mahkamah Agung adalah untuk seumur hidup. Diangkatnya Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota-anggota yang bekerja di Mahkamah Agung sampai seumur hidup menuai banyak kontroversi di kalangan masyarakat. Masa jabatan yang seumur hidup seperti yang dilakukan di negara Amerika Serikat, memberikan keuntungan bahwa hakim tersebut tentunya lebih bijak dan berpengalaman karena sudah paham mengenai kasus-kasus yang bersinggungan langsung dengan rasa keadilan di masyarakat. Akan tetapi, di satu sisi juga tidak dapat dipungkiri bahwa manusia semakin tua maka kondisi tubuhnya akan semakin menurun. Maka dari itu dikhwatirkan jika di angkat seumur hidup, nantinya hakim tersebut akan sakit-sakitan dan justru mengganggu profesionalitasnya sebagai seorang hakim.
Selain itu, berdasarkan pada penjelasan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, syarat untuk menjadi hakim adalah kepandaian, kecakapan, kelakuan yang tidak tercela, memberikan bantuan hukum yang yang hakiki kepada warga negara, memperlakukan dan melindungi semua warga negara secara adil, menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah, dan memberikan jaminan pembelaan, serta tidak melaksanakan ketentuan yang rektroaktif. Maka dari itu tugas menjadi seorang hakim cukuplah berat. Untuk menjadi seorang hakim diperlukan ilmu hukum yang sempurna, cerdas, objektif cakap, istimewa dan memiliki kelakuan dan akhlak yang baik. Bahkan secara tegas dinyatakan bahwa hakim itu memiliki kuasa yang amat besar, sebab hakim dapat menjatuhkan putusannya dengan memakai kekerasan.
Mahkamah Agung dapat dipecat atau diberhentikan menurut cara dan ditentukan oleh undang-undang (Pasal 79 Ayat (3) UUDS 1950), selain itu diatur pada pasal yang sama ayat berbeda yaitu ayat (4) disebutkan bahwa ” Mahkamah Agung dapat diberhentikan oleh Presiden atas permintaan sendiri”. Meskipun sudah secara tegas dinyatakan dalam Pasal 103 UUDS bahwa segala campur tangan alat-alat perlengkapan negara yang bukan perlengkapan pengadilan telah dilarang, akan tetapi tampak disini terjadi ketidak konsistenan dengan tidak diterapkannya prinsip independensi di dalam kekuasaan kehakiman kala itu, dimana Presiden dapat mengintervensi hingga dapat memberhentikan Ketua, Wakil Ketua, dan anggota-angota dari Mahkamah Agung. Padahal sejatinya, fungsi kekuasaan kehakiman harus bebas dari intervensi cabang kekuasaan lainnya, hal ini dikarenakan dalam melakukan fungsi mengadili dibutuhkan rasa aman dan nyaman serta terbebas dari gangguan dan ancaman dari pihak lain. Bahkan, di dalam Pasal 106 dinyatakan bahwa struktur Jaksa Agung masuk kedalam rezim Mahkamah Agung, bagaimana mungkin fungsi penuntutan dan fungsi pengadilan dilakukan dalam satu struktur lembaga yang sama?
Sejalan dengan pemberlakuan UUDS 1950, maka ketentuan mengenai penyelenggaran kekuasaan kehakiman juga berubah. Perubahan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1951 yang mengenyampingkan ketentuan-ketentuan tentang kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh pemerintah prefederal. Di dalam susunan kekuasaan kehakiman menurut pemerintah prefederal bahwa secara regional dinamakan “Governments- Rechtspraak”, dengan Hooggerchtshof sebagai pengadilan tertingginya. Selain itu Undang-Undang darurat ini juga menghapus keberadaan segala pengadilan distrik, pengadilan kabupaten, pengadilan Negorij, pengadilan Raad Distrik, pengadilan magistraat, pengadilan kepolisian, dan pengadilan swapraja serta segala pengadilan adat. Jadi berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini, Mahkamah Agung memiliki struktur hierarkis yaitu pengadilan tinggi dan pengadilan negeri. Dimana macam-macam peradilanya adalah peradilan umum, peradilan ketentaraan, peradilan agama, peradilan desa, dan peradilan tata usaha.Peradilan Umum pada masa UUDS 1950 terdiri dari perkara-perkara yang bersubstansi perdata, pidana sipil, dan peradilan militer termasuk di dalamnya juga peradilan ekonomi. Adapun hierarki dari peradilan umum ini terdiri dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung.
Di dalam UUDS Pasal 104 ditentukan mengenai syarat suatu putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan, bahwa keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasan, dasar hukum, dan dasar adat yang mengatur perkara tersebut. Akan tetapi dalam keadaan tertentu hakim boleh menyimpang dari peraturan yang ada apabila perkara tersebut secara terang dan nyata melanggar ketertiban dan kesusilaan umum. Hal ini membuka peluang terjadinya putusan ultra petita yang dilakukan oleh Hakim, penulis menyambut dengan positif ketentuan ini karena dapat merubah sentimen negatif kepada para hakim sebagai corong undang-undang semata. Dengan adanya ketentuan ini, tentunya para hakim lebih leluasa dalam membuat suatu putusan dan tidak terbatas pada ketentuan prosedural semata.
Uniknya, produk dari pengadilan disebut sebagai keputusan, bukan putusan. Seperti diketahui saat ini antara keputusan dan putusan memiliki makna yang jauh berbeda, yaitu putusan diartikan sebagai suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan yang terbuka untuk umum dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan perkara atau sengketa antara para pihak , sedangkan keputusan saat ini identik dengan keputusan-keputusan yang bersifat umum dan abstrak yang bersifat mengatur (regelling), dan yang bersifat individual dan konkret yang biasanya bersifat penetapan administratif (beschiking). Meskipun pada dasarnya Prof. Jimly dalam bukunya Perihal Undang-Undang juga memasukan vonnis atau putusan sebagai bentuk keputusan yang dilakukan oleh negara melalui para hakim.
Selain melakukan fungsi mengadili, Mahkamah Agung juga sebagai alat kelengkapan negara yang merupakan penjewantahan forum previligiatum di Indonesia sesuai Pasal 106 ayat (1) UUDS RI. Terminologi forum previligiatum pertama kali dikenal sejak masa kolonial Belanda, dimana forum tersebut adalah forum khusus untuk mengadili para pejabat. Forum pengadilan ini diperlukan karena tidak mungkin mengadili para pejbat tersebut dalam pengadilan biasa yang sangat mungkin hakim yang mengadili berkedudukan lebih rendah dari pejabat yang diadili serta agar peradilan dapat berjalan secara fair dan impartial.
“Presiden, Wakil-Presiden, Menteri-menteri, Ketua, Wakil-Ketua dan Anggauta Dewan Perwakilan Rakjat, Ketua, Wakil-Ketua dan Anggauta Mahkamah Agung, Djaksa Agung pada Mahkamah Agung, Ketua, Wakil-Ketua, dan Anggauta Dewan Pengawas Keuangan, Presiden Bank-Sirkulasi dan djuga pegawai-pegawai, anggauta-anggauta, madjelis-madjelis tinggi dan pedjabatpedjabat lain jang ditundjuk dengan undang-undang, diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi djuga oleh Mahkamah Agung, pun sesudah mereka berhenti, berhubung dengan kedjahatan dan pelanggaran-djabatan serta kedjahatan dan pelanggaran lain jang ditentukan dengan undang-undang dan jang dilakukannja dalam masa pekerdjaannja, sebagai pengawas atas perbuatan pengadilan-pengadilan yang lain, Mahkamah Agung juga memberi nasehat kepada Presiden dalam pemutusan pemberian hak grasi oleh presiden. “
Fungsi lainnya yang dimiliki oleh Mahkamah Agung saat itu adalah fungsi penasihatan. Dimana sebelum Presiden menggunakan hak-nya dalam memberikan grasi, amnesti, dan abolisi diharuskan untuk meninta nasehat dari Mahkamah Agung terlebih dahulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H