15 tahun kemudian, Sjahrir dan Mieske kembali bertemu di India. Pertemuan setelah belasan tahun itu juga sekaligus perpisahan karena pada 1948 mereka memutuskan bercerai. Kemudian, Sjahrir menikah dengan sekretarisnya yaitu Siti Wahyunah Saleh yang dinikahinya pada tahun 1951. Pernikahan keduanya dikaruniai dua orang anak, mereka hidup bersama sampai akhir hayat Sjahrir.
Akhir Hayat
Sjahrir ditangkap dan dipenjara oleh kawan lamanya yang pada saat itu masih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, Soekarno pada tahun 1962. Ia dikenai tuduhan tanpa bukti bahwa Ia telah merencanakan pembunuhan Soekarno, suatu hal yang tak mungkin dilakukan oleh seorang intelektual yang memperjuangkan kemanusiaan sekelas Sjahrir.
Meskipun itu bukan kali pertamanya menghirup debu di balik jeruji besi, tetapi hal tersebut tetap membuat Sjahrir stres. Bahkan pada suatu ketika, ia pingsan, tetapi tak ada yang menolongnya karena petugas harus memerlukan izin dari jaksa agung untuk menolongnya. Barulah pada pagi harinya Ia diberi pertolongan, tetapi Ia tak lagi dapat berbicara.
Pada bulan Juli 1965, Sjahrir dibawa ke Swiss untuk diberikan pengobatan lebih lanjut. Soekarno yang pada awalnya menolak hal tersebut, akhirnya mengizinkan Sjahrir pergi dalam status tetap sebagai tahanan politik. Betapa kejamnya orang yang sudah tak dapat berbicara, tak dapat bergerak, masih dijadikan tahanan politik oleh kawan lamanya.
Sjahrir mengembuskan napas terakhirnya di samping istri dan kedua anaknya pada 9 April 1966 di Swiss. Beberapa jam setelah kepergiannya itu pula, ia diangkat sebagai pahlawan nasional oleh Soekarno yang telah memenjarakannya. Sosok yang memiliki perjuangan besar untuk kemerdekaan bangsanya serta berkontribusi besar untuk mempertahankan kemerdekaan bangsanya, berakir meninggal dengan status tahanan politik yang diberikan pemimpin bangsanya tanpa pernah meraih cita-citanya.
Jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 19 April 1966. Tumpah ruah rakyat Indonesia mengiringi pemakamannya, iring-iringan itu bahkan memenuhi jalan dari TMP Kalibata hingga Bundarah HI yang jaraknya sekitar 10 Km.
“Pemuda Indonesia, tanamlah dalam hatimu, Sjahrir Pahlawan Nasional Indonesia.” Ujar Bung Hatta dalam pidatonya di pemakaman Sjahrir.
Hilang dari Sejarah
Kegagalan demi kegagalan terus menghampiri Sjahrir semasa hidupnya, bahkan tak hanya di hidupnya, ketika namanya telah terukir di batu nisan TPU Kalibata pun kegagalan dan kekalahan masih menghampiri dirinya. Pergantian kekuasaan tidak membuat namanya menjadi lebih dikenal, justru sebaliknya Ia malah semakin dihapuskan dan berusaha dilupakan.
Hari ini, berapa banyak orang yang mendalami pikiran-pikiran Sjahrir? Atau berapa banyak anak sekolah dasar yang mengetahui tentang sosok tersebut?. Nampaknya, negara ini justru semakin berjalan berseberangan dengan pemikiran Sjahrir. Sjahrir menjadi semacam sejarah yang tak tercatat oleh bangsa Indonesia, kendati ia memberikan yang terbaik untuk bangsanya. Namun, seperti ungkapannya yang populer “hidup yang tidak pernah dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan” dan Sjahrir telah mempertaruhkan segalanya.
Apa yang terjadi jika Sjahrir menjadi pemenangnya
Banyak pertanyaan tersisa dari pemikiran Sutan Sjahrir. Menurut saya, pertanyaan terbesar adalah bagaimana jika Sjahrir hidup di zaman sekarang? Atau bagaimana jika pikiran-pikirannya berhasil diterapkan pada seluruh lini bangsa?.