Inti dari perjuangan kemerdekaan bukanlah proklamasi, sebab proklamasi hanyalah gerbang menuju kemerdekaan sesungguhnya, yaitu kebebasan jiwa tiap-tiap rakyat Indonesia. Dan untuk memperoleh itu, diperlukan pendidikan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia sehingga semua rakyat dapat merasakan kebebasan berekspresi sebagai bentuk dari demokrasi yang nyata, bukan ilusi semata.
Dalam diri Sutan Sjahrir lah kita dapat menemukan kemanusiaan yang berbudaya, dengan menghargai manusia Indonesia sebagai pribadi, tetapi tidak lepas dari hakikat sosialnya. Sjahrir tidak ingin memangkas kebebasan manusia untuk memaksakan kehendak politiknya. Ia bukanlah seseorang yang individualis, dan Ia tidak ingin rakyat indonesia menjadi individualis.
Kemerdekaan yang dicita-citakan Sjahrir bukanlah proklamasi sebagai akhir tahap perjuangan. Proklamasi kemerdekaan itu adalah gerbang awal menuju kemerdekaan sesungguhnya, yaitu kemerdekaan di dalam jiwa tiap-tiap manusia. Sjahrir ingin setelah merdeka, negara dapat memenuhi hak-hak rakyatnya secara menyeluruh seperti kemerdekaan berpikir, berbicara, beragama, menulis, mendapat kehidupan, mendapat pendidikan, dan berkontribusi dalam penyelenggaraan negara. Ia menuliskan hal-hal tersebut di dalam buku yang berjudul Perjuangan Kita. Hal-hal tersebutlah yang akan membawa kita ke dalam demokrasi yang sesungguhnya, bukan formalitas belaka. Namun, sepertinya hari ini sebagian besar rakyat Indonesia tidak mengerti akan hal tersebut, sehingga praktik politik murahan dapat merajalela di Indonesia.
Politik Pedagogis Sjahrir
Sebagai bagian dari langkahnya dalam mewujudkan cita-cita bagi bangsanya, Sjahrir mendirikan PSI (Partai Sosialis Indonesia), sebuah partai kecil yang pada tahun 1955 hanya mengantongi 2% suara di parlemen.
Partai ini memiliki prinsip mengedepankan proses pengaderan dibanding mengumpulkan massa sebagai “alat” politik untuk memperjuangkan cita-cita. Itu disebabkan karena Sjahrir ingin masyarakatnya dapat memperjuangkan bangsa melalui nalar dengan logis sebagai manusia, bukan memperjuangkan bangsa hanya dengan rasa nasionalisme buta. Hal itulah yang dinamakan politik pedagogis, yaitu mengajarkan rakyat berpikir merdeka supaya dapat menentukan pilihannya sendiri dengan bebas.
Cara cemerlang seperti itu sudah sangat jarang dapat ditemui dalam gelanggang politik sekarang. Kebanyakan partai politik bukannya melaksanakan politik pedagogis, justru sebaliknya, yaitu melakukan politik demagogis yang hanya mengandalkan popularitas, suku, serta agama seseorang untuk berlaga dengan dalih demokrasi tanpa tahu bagaimana kualitasnya dalam politik.
Bahkan partai yang singkatannya sama dengan partai besutan Sjahrir (PSI) mengangkat seseorang yang baru 2 hari masuk ke dalam partai tersebut untuk menjadi ketua umum, lebih parahnya lagi, orang yang diangkat tersebut merupakan anak dari sang pemimpin negara.
Politik dalam benak Sjahrir adalah urusan publik yang harus dipertimbangkan dengan kematangan pikiran, bukan melalui doktrin-doktrin. Oleh sebab itu, sebagai tahap awal perjuangan politik, penanaman ideologi menjadi modal utama untuk mewujudkan tata cara bernegara yang berkualitas. Politik yang hanya bermodalkan suku, ras, agama, apalagi popularitas sangat jauh dari tujuan semacam ini. Namun lagi-lagi, banyak kejadian di negara kita hari ini yang justru mencerminkan sebaliknya, rakyat biasa dipolarisasi oleh kaum elit sehingga menimbulkan banyak konflik horizontal.
Meja Diplomasi
Politik pedagogi itu juga dapat dilihat dari caranya mempertahankan negara. Sebagai seorang politisi, Sjahrir lebih suka memperjuangkan cita-citanya di balik meja diplomasi, bukan mengerahkan massa di jalanan. Argumen-argumen Sjahrir dalam forum internasional merupakan hasil pemikiran yang matang dan tidak bersifat reaktif kendati sering dituduh hal yang tidak benar oleh lawan-lawannya.
Di sinilah kecerdasannya sangat menonjol, mislanya pada tahun 1946 Kabinet Sjahrir melakukan diplomasi beras terhadap India. Sjahrir yang pada saat itu menjabat sebagai perdana menteri menawarkan 500.000 ton beras kepada India yang tengah dilanda kelaparan. Sebagai gantinya, Indonesia meminta bantuan tekstil dari India. Diplomasi itu sukses dilakukan dan mata dunia tertuju kepada keberadaan Indonesia sebagai negara baru yang membantu negara dengan krisis. India juga kemudian lantang mendukung Indonesia dalam upaya mempertahankan kemerdekaannya.