Mohon tunggu...
Rafito
Rafito Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kelahiran dan Miskonsepsi Tafsir Sila Pertama Pancasila

13 April 2022   07:00 Diperbarui: 7 Juni 2024   22:05 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembahasan mengenai legalitas ateisme di Indonesia bukan hal yang baru kita dengar. Kita sering mendengar percakapan mengenai hal ini dari waktu ke waktu. Alasannya sederhana, karena mereka yang kontra dengan ateisme menganggap ateisme bertentangan dengan Sila Pertama Pancasila yang berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Mereka menafsirkan sila tersebut sebagai kewajiban untuk bertuhan dan beragama.

Sering juga kita mendengar argumen dari orang yang menganggap ateisme boleh di Indonesia. Mereka beralasan bahwa Sila Kedua Pancasila yang berbunyi "Kemanusiaan yang adil dan beradab" memiliki makna humanisme. Artinya kita tak perlu mengingat Tuhan dan mengharapkan surga untuk berbuat baik kepada sesama. Berarti Tuhan tidak dibutuhkan dalam konsep ini.

Bagi saya, sebetulnya tidak perlu "loncat" ke sila kedua untuk menyatakan bahwa ateisme dibolehkan di Indonesia. Dengan menggunakan sila pertama pun kita bisa paham bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah suatu kewajiban untuk bertuhan. Mengapa bisa begitu? Saya akan membedahnya melalui tulisan di bawah ini.

Berawal dari pertanyaan "negara yang akan kita dirikan nanti, dasarnya apa?" bermunculan gagasan-gagasan mengenai dasar negara tersebut. Tokoh-tokoh yang mengusulkan dasar negara pada sidang BPUPKI di antaranya Moh. Yamin pada tangga 29 Mei 1945, Soepomo pada tanggal 31 Mei 1945, dan Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Lalu dipilihlah gagasan Soekarno tersebut, kemudian Pancasila disahkan menjadi dasar negara sehari setelah kemerdekaan Indonesia, yaitu tanggal 18 Agustus 1945 dan tanggal pidato Soekarno mengenai Pancasila dijadikan sebagai Hari Lahirnya Pancasila.

Gagasan Soekarno sangatlah istimewa, beliau melakukan pemikiran mendalam untuk menggali nilai-nilai yang ada di Bangsa Indonesia yang bahkan belum menjadi Bangsa Indonesia. Beliau hingga menggali hingga ke awal peradaban manusia di mana kehidupan manusia sangat jauh berbeda dengan sekarang. Bahkan, beliau pun menyinggung mengenai evolusi manusia saat menjelaskan Pancasila. 

Dari sini kita tahu bahwa Pancasila merupakan hakikat dari kehidupan berbangsa dan bernegara.

Evolusi adalah hal yang selalu terjadi di alam semesta. Manusia pun berasal dari evolusi yang awalnya berupa sel tunggal, kemudian berubah menjadi Chordata, berubah lagi menjadi ikan, berubah lagi menjadi amfibi, berubah lagi menjadi reptil, berubah lagi menjadi hewan pengerat, lalu berubah menjadi semacam kera, lalu kera yang berjalan dengan empat kaki berubah menjadi berjalan dengan dua kaki, dan barulah menjadi yang kita sebut dengan manusia. Begitu pula dengan pikiran manusia, alam pikiran manusia sangat dipengaruhi oleh bagaimana mereka mencari makan, bertahan hidup, dan memelihara kehidupan.

Pada tingkat awal kehidupan, manusia hidup di dalam gua. Mereka makan dengan berburu dan mencari ikan di sungaiyang memberinya kehidupandengan bermodalkan senjata yang bernama batu dan kayu. Mereka tentu selalu berpindah tempat dari hari ke hari untuk mencari buruannya. Berteduh di bawah pohon, melihat langit yang disinari matahari, tak jarang matahari itu bersembunyi dan digantikan oleh guntur.

Seiring berjalannya waktu, manusia mulai paham bahwa hewan yang mereka buru ternyata dapat dipelihara. Di tingkat kedua kehidupan manusia ini, rusa, sapi, kambing, dan hewan lainnya yang tadinya mereka buru lambat laun mulai ditangkap, diikat, dikurung, dan dipelihara. Mereka mulai beternak, meskipun untuk mencari makan ternaknya mereka harus pergi ke hutan atau mengembala.

Waktu terus berjalan dan manusia kian berkembang, manusia yang harus hidup nomaden ketika berburu, menjadi lebih terikat dengan tempat ketika beternak. Namun, ia harus tetap masuk ke hutan untuk mencari jagung, gandum, padi, dan buah-buahan sebagai pakan ternaknya yang juga bisa mereka makan sendiri.

Lambat laun, mereka mengetahui bahwa tumbuh-tumbuhan itu bisa ditanam, inilah tingkat ketiga kehidupan manusia. Mereka mengorek-ngorek tanah, lalu memasukkan biji-bijian ke dalamnya dan dikubur. Mereka pun mulai meninggalkan cara hidup beternak karena capek jika harus selalu mencari tempat pengembalaan bagi ternaknya. Akhirnya, manusia tinggal menetap di rumah yang sangat sederhana.

Waktu berjalan lagi hingga mereka tahu bahwa jika tanah itu "digaruk" dengan suatu macam alat, maka tanah tersebut akan menjadi lebih subur. Akhirnya sebagian manusia mulai berpikir untuk menjadi pembuat pacul, bajak, dan linggis sederhana yang terbuat dari kayu kendati bercocok-tanam. Alat ini kemudian ditukarkan dengan bahan pangan kepada orang yang becocok-tanam, sehingga timbullah sistem barter.

Dari situ, lahirlah kehidupan manusia yang sekarang ini. Mulai dari produksi masal menggunakan mesin, perburuhan, pengajaran, dan lain-lain. Inilah yang dinamakan dengan industrialisme. Manusia sudah hidup dengan rumah yang bagus seiring dengan alat yang semakin bagus.

Begitu pula dengan alam pikiran manusia mengenai ketuhanan. Pada tingkat pertama kehidupan, manusia menyembah berbagai macam benda, seperti matahari, bulan, dan bintang yang menyinarinya di siang dan malam, pohon yang melindunginya dari terik matahari, ataupun sungai yang senantiasa memberinya ikan-ikan untuk dimakan. Hal-hal itulah yang mereka anggap sebagai Tuhan karena telah memberinya kehidupan.

Setelah melewati masa yang cukup panjang, pengertian manusia mengenai Tuhan berubah. Saat memasuki tingkat kedua kehidupan, yaitu saat manusia beternak, Tuhan tidak lagi dianggap dalam wujud matahari, pohon, ataupun sungai. Namun, Tuhan dianggap dalam bentuk hewan-hewan, contohnya sapi. 

Mereka menganggap sapilah yang memberi mereka makanan, sehingga sapi dianggap Tuhan. Hal ini masih dapat kita temui saat ini salah satunya di India. Mereka menganggap sapi adalah hewan yang suci, bahkan kotorannya pun dianggap sebuah berkah.

Pada tingkat ketiga, saat manusia mulai menjalani hidup dengan bercocok tanam, mereka tahu bahwa hasil panen mereka bergantung salah satunya kepada cuaca dan mereka yakin ada suatu dzat yang menguasai pertanian.

 Pada masa ini pemahaman manusia mengenai Tuhan sudah bukan dalam bentuk "mentah" seperti jika yang memberi kehidupan adalah sungai, maka Tuhan adalah sungai, jika yang memberi kehidupan adalah sapi, maka Tuhan dianggap sapi. 

Namun, Tuhan sudah diwujudkan ke dalam bentuk dewa-dewi yang menyerupai manusia, atau yang dikenal dengan Anthropomorph. Banyak nama dewi yang mereka anggap memiliki kuasa terhadap kehidupan manusia, masing-masing memiliki kuasanya sendiri. Dewi-dewi ini wujudnya digambarkan dalam bentuk patung wanita yang sangat cantik.

Memasuki tingkat kehidupan keempat, di tingkat ini manusia mulai membuat peralatan, sehingga tentu saja akal banyak digunakan. Pemahaman manusia yang menganggap Tuhan memiliki wujud yang nampak di mata, berubah pada tingkat ini. Mereka sekarang menganggap Tuhan hanyalah bersarang di otak, atau gaib. 

Tidak bisa dilihat dengan mata ataupun diraba dengan tangan. Tuhan inilah yang banyak dipercayai manusia saat ini. Akallah yang menentukan kehidupan manusia ini.

Di tingkat terakhir, yaitu industrialisme, manusia bisa membuat apapun yang mereka inginkan. Mereka bisa membuat petir dari listrik, membuat hujan buatan, merekayasa tumbuhan, dll. sehingga mereka berpikir "tidak ada Tuhan, aku bisa membuat apapun yang aku inginkan". Pada tahap ini, Tuhan lebih daripada digaibkan, yaitu dihilangkan.

Begitulah evolusi berjalan. Meskipun Tuhan dipahami berbeda pada setiap tingkat kehidupan, tetapi bagi Soekarno Tuhan tidaklah berubah-ubah. Pemahaman manusia tentang Tuhanlah yang berubah-ubah. Dan karena Soekarno adalah orang yang percaya Tuhan, beliau menganggap sekalipun ada orang yang tidak percaya Tuhan, tidak dapat menyingkirkan bahwa Tuhan itu ada.

Dari kelima tingkatan kehidupan dan alam pikiran manusia tersebut, hampir semuanya memiliki satu kesamaan, yaitu mengenai keberadaan Tuhan. Mulai dari berbentuk benda mati, berbentuk hewan, berbentuk dewi, hingga gaib. Barulah di tingkat kelima, Tuhan dianggap tiada. Namun, hanya sedikit masyarakat Indonesia yang mulai masuk ke tingkat kelima tersebut.

Dari pemahaman tersebut, Soekarno akhirnya menjadikan ketuhanan sebagai salah satu aspek dasar negara Indonesia. Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah suatu perintah atau kewajiban untuk bertuhan. 

Namun, itu adalah nilai dasar yang dimiliki oleh masyarakat Indonesai yang menjadikan Bangsa Indonesia terikat secara batin. Dengan istilah sederhana, bukan karena sila Ketuhanan masyarakat indonesia menjadi wajib bertuhan, tetapi karena masyarakat Indonesia pada dasarnya memegang nilai ketuhanan, maka ketuhanan dimasukkan ke dalam Pancasila.

Namun, tidak semua manusia Indonesia percaya kepada Tuhan, bahkan di zaman dulu. Lantas, apakah ketuhanan pantas dijadikan salah satu dasar negara? Tentu saja pantas. Memang tidak semua orang beragama atau bertuhan, begitu pula tidak semua orang humanis, tidak semua orang nasionalis, dan tidak semua orang demokratis. 

Namun, ketuhanan itulah corak utama dari Bangsa Indonesia. Justru salah apabila tidak memasukkan Ketuhanan ke dalamnya, karena itu merupakan suatu elemen yang mengikat dan menyatukan batin Bangsa Indonesia. Sehingga jika ketuhanan tidak dimasukkan ke dalam dasar negara, maka itu sama saja dengan membuang nyawa dari Bangsa Indonesia.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bawa ateisme boleh berada di Indonesia dan tidak bertentangan dengan Pancasila karena sila pertama Pancasila tidaklah mewajibkan semua orang untuk bertuhan, tetapi menjelaskan bahwa Ketuhanan adalah corak utama Bangsa Indonesia. 

Hal ini digali dari pemikiran mendalam Bung Karno mengenai evolusi kehidupan dan alam pikiran manusia. Itu sebabnya, secara filosofis, Pancasila merupakan suatu dasar negara yang kokoh dan amat baik.

Terima Kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun