Mohon tunggu...
Rafito
Rafito Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kelahiran dan Miskonsepsi Tafsir Sila Pertama Pancasila

13 April 2022   07:00 Diperbarui: 7 Juni 2024   22:05 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lambat laun, mereka mengetahui bahwa tumbuh-tumbuhan itu bisa ditanam, inilah tingkat ketiga kehidupan manusia. Mereka mengorek-ngorek tanah, lalu memasukkan biji-bijian ke dalamnya dan dikubur. Mereka pun mulai meninggalkan cara hidup beternak karena capek jika harus selalu mencari tempat pengembalaan bagi ternaknya. Akhirnya, manusia tinggal menetap di rumah yang sangat sederhana.

Waktu berjalan lagi hingga mereka tahu bahwa jika tanah itu "digaruk" dengan suatu macam alat, maka tanah tersebut akan menjadi lebih subur. Akhirnya sebagian manusia mulai berpikir untuk menjadi pembuat pacul, bajak, dan linggis sederhana yang terbuat dari kayu kendati bercocok-tanam. Alat ini kemudian ditukarkan dengan bahan pangan kepada orang yang becocok-tanam, sehingga timbullah sistem barter.

Dari situ, lahirlah kehidupan manusia yang sekarang ini. Mulai dari produksi masal menggunakan mesin, perburuhan, pengajaran, dan lain-lain. Inilah yang dinamakan dengan industrialisme. Manusia sudah hidup dengan rumah yang bagus seiring dengan alat yang semakin bagus.

Begitu pula dengan alam pikiran manusia mengenai ketuhanan. Pada tingkat pertama kehidupan, manusia menyembah berbagai macam benda, seperti matahari, bulan, dan bintang yang menyinarinya di siang dan malam, pohon yang melindunginya dari terik matahari, ataupun sungai yang senantiasa memberinya ikan-ikan untuk dimakan. Hal-hal itulah yang mereka anggap sebagai Tuhan karena telah memberinya kehidupan.

Setelah melewati masa yang cukup panjang, pengertian manusia mengenai Tuhan berubah. Saat memasuki tingkat kedua kehidupan, yaitu saat manusia beternak, Tuhan tidak lagi dianggap dalam wujud matahari, pohon, ataupun sungai. Namun, Tuhan dianggap dalam bentuk hewan-hewan, contohnya sapi. 

Mereka menganggap sapilah yang memberi mereka makanan, sehingga sapi dianggap Tuhan. Hal ini masih dapat kita temui saat ini salah satunya di India. Mereka menganggap sapi adalah hewan yang suci, bahkan kotorannya pun dianggap sebuah berkah.

Pada tingkat ketiga, saat manusia mulai menjalani hidup dengan bercocok tanam, mereka tahu bahwa hasil panen mereka bergantung salah satunya kepada cuaca dan mereka yakin ada suatu dzat yang menguasai pertanian.

 Pada masa ini pemahaman manusia mengenai Tuhan sudah bukan dalam bentuk "mentah" seperti jika yang memberi kehidupan adalah sungai, maka Tuhan adalah sungai, jika yang memberi kehidupan adalah sapi, maka Tuhan dianggap sapi. 

Namun, Tuhan sudah diwujudkan ke dalam bentuk dewa-dewi yang menyerupai manusia, atau yang dikenal dengan Anthropomorph. Banyak nama dewi yang mereka anggap memiliki kuasa terhadap kehidupan manusia, masing-masing memiliki kuasanya sendiri. Dewi-dewi ini wujudnya digambarkan dalam bentuk patung wanita yang sangat cantik.

Memasuki tingkat kehidupan keempat, di tingkat ini manusia mulai membuat peralatan, sehingga tentu saja akal banyak digunakan. Pemahaman manusia yang menganggap Tuhan memiliki wujud yang nampak di mata, berubah pada tingkat ini. Mereka sekarang menganggap Tuhan hanyalah bersarang di otak, atau gaib. 

Tidak bisa dilihat dengan mata ataupun diraba dengan tangan. Tuhan inilah yang banyak dipercayai manusia saat ini. Akallah yang menentukan kehidupan manusia ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun