Pada laki-laki, rokok elektronik digunakan dengan tujuan untuk mendapatkan nikmat akan rasa, fasilitas sosial, dan energi dari rokok elektronik, sedangkan pada perempuan rokok elektronik digunakan untuk mengendalikan berat badan (Elsa dan Nadjib, 2019).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan bahwa rokok elektronik "sudah pasti berbahaya" sehingga rokok elektronik bukan merupakan solusi berhenti merokok.Â
Berkaitan dengan COVID-19, laporan organisasi CTFK (Campaign for Tobacco-Free Kids) membuktikan bahwa perokok dan pengisap vape berisiko lebih tinggi terhadap penyakit parah apabila terpapar dengan COVID-19 (CTFK, 2020).Â
Salah satu studi di masa awal pandemi yang meneliti terkait efek penggunaan rokok elektronik menunjukkan bahwa adanya dampak yang ditimbulkan dari rokok elektronik, yaitu rusaknya paru-paru, menurunnya sistem kekebalan tubuh, dan kardiovaskular. Selain itu, pasien dengan ciri-ciri tersebut akan berisiko lebih tinggi terinfeksi COVID-19 yang parah (Mehra et al, 2020; Volkow, 2020; Glantz, 2020).
Jadi, rokok elektronik bukan merupakan solusi untuk berhenti merokok. Perilaku penggunaan rokok elektronik di era pasca COVID-19 akan berisiko lebih tinggi terhadap penyakit parah apabila terkena COVID-19 dan dapat berdampak pada berbagai masalah kesehatan, seperti kerusakan paru-paru, serta sistem kekebalan tubuh dan kardiovaskular.Â
Melihat banyaknya stigma sosial yang mengklaim bahwa rokok elektrik lebih tidak berbahaya dibandingkan dengan rokok konvensional dapat menimbulkan masalah yang lebih besar. Dengan demikian, perlu adanya urgensi dari pemerintah saat ini untuk mengendalikan konsumsi rokok, baik rokok elektronik maupun rokok konvensional.
Dibuat oleh: Alda Fuji Yahmi, Sabrina Kalila Sono, Rafi Sufianto (FKM UI 2020)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H