Mohon tunggu...
Bintang Pamungkas
Bintang Pamungkas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Giat melaksanakan hal positif yang cenderung ke arah pemberdayaan diri, baik berupa softskill maupun hardskill.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perairan Natuna Utara Harga Mati, Kedaulatan Tak Bisa Ditawar

31 Mei 2024   23:58 Diperbarui: 31 Mei 2024   23:58 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

PERAIRAN NATUNA UTARA HARGA MATI, KEDAULATAN TAK BISA DITAWAR

 

"Di masa lampau kita menganjurkan cita-cita kedaulatan rakyat. Sekarang, setelah kita melahirkan Indonesia Merdeka, kita berhadapan dengan soal mempraktikkannya. Sekarang kita berhak untuk mempraktikkan apa yang kita pinang sebagai ciptaan hati dalam pergerakan rakyat sedia kala. Kita sekarang menghadapi ujian dari cita-cita kita itu, ujian tentang benar atau tidaknya. Ingatlah, bahwa orang luar mudah sekali mengukur kebenaran suatu cita-cita dengan hasilnya dalam praktik."

Penggalan kalimat di atas adalah sebagian kecil dari isi buku Demokrasi Kita yang ditulis oleh Bung Hatta, salah satu tokoh revolusioner terkemuka di era kemerdekaan yang sekaligus dikenal juga sebagai salah satu Founding Fathers Bangsa Indonesia. Perjuangan untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia dalam bentuk dan wujud apapun tak terelakkan.

Situasi yang memanas di Kawasan Laut China Selatan dapat mengganggu eksistensi Indonesia bilamana berdampak pada keutuhan kedaulatan kita, yang sejak dulu hingga kini diperjuangkan dengan semangat nasionalisme. Kepulauan Natuna bagian utara bersinggungan langsung dengan Kawasan Laut China Selatan yang notabenenya termasuk wilayah perairan yang konflik antar beberapa negara tertentu belum tuntas hingga kini di wilayah tersebut. Maka kemungkinan konflik di Laut China Selatan harus ditanggapi dan ditindak-lanjuti secara wajar dan serius demi menjamin keberlangsungan Bangsa Indonesia yang berdaulat.

Laut China Selatan sebagai kawasan maritim strategis di Asia, merupakan wilayah laut yang berbatasan atau bersinggungan dengan banyak negara. Setiap tahun, lebih dari setengah lalu lintas super-tanker melalui wilayah perairan tersebut dan hal demikian juga yang menjadikannya sebagai jalur pengiriman barang lewat laut tersibuk kedua di dunia. Laut China Selatan dikelilingi oleh sepuluh negara Pantai, yaitu China, Taiwan, Vietnam, Kamboja, Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, Filiphina, dan Indonesia. 

Nilai strategis penting bagi jalur perdagangan dunia di Indo-Pasifik lewat perairan Laut China Selatan adalah potensi geografis yang sangat memadai untuk menjamin kelangsungan perekonomian global. Namun, di lain sisi terdapat juga kekayaan alam melimpah di sebaran Laut China Selatan. Berdasarkan verivikasi data oleh Council for Foreign Relations (CFR), terdapat sekitar 900 triliun kaki kubik gas alam. 

Selain gas alam yang melimpah, terkandung juga cadangan minyak dengan estimasi kurang lebih 213 miliar barel atau hampir mencapai 80% cadangan minyak negara Arab Saudi. Dari segi komoditas pangan tak kalah menariknya, karena Laut China Selatan menyimpan kekayaan ikan melimpah dengan perkiraan sekitar 1/3 dari total keanekaragaman laut di dunia yang berkontribusi terhadap 10% dari total tangkapan ikan di dunia.

Di atas sebaran kekayaan melimpah di penjuru Laut China Selatan ini sering terjadi bersitegang antar negara bahkan menyebabkan konflik dan konfrontasi langsung maupun tidak langsung. Sengketa Laut China Selatan dalam pembahasan kali ini tidak bisa dipisahkan atas klaim sepihak oleh negara China dalam penentuan kebijakan atas kepemilikan wilayah laut tersebut. 

Klaim ini mulanya muncul ketika China mengeluarkan kebijakan berupa wilayah kekuasaan di perairan tersebut dengan memproduksi peta Laut China Selatan yang memuat 9 garis putus-putus dan menjangkau hampir keseluruhan wilayah di Laut China Selatan. Kebijakan kekuasaan atas teritorial ini dipertegas ketika Partai Komunis Tiongkok berkuasa pada tahun 1953. 

Landasan awal atas pembenaran klaim ini oleh China didasarkan terhadap Sejarah China kuno, yaitu pada saat Dinasti Han berkuasa pada abad ke-2 SM hingga kekuasaan Dinasti Ming dan Dinasti Qing pada abad ke-13 SM.

Penegasan klaim China atas wilayah kekuasaan teritorial di Laut China Selatan Kembali digaungkan oleh mereka dengan merilis Peta Standar China Edisi 2023 pada hari senin, 28 Agustus 2023. Hal itu memancing respon geram atas negara-negara di wilayah Laut China Selatan, karena peta yang disebut sebagai Ten Dash-Line menabrak dan bahkan mengambil batas kedaulatan negara-negara Pantai tersebut, seperti India, Malaysia, Filiphina, hingga Taiwan. 

Pemerintah Indonesia juga turut merespon klaim sepihak oleh China terhadap Laut China Selatan yang termuat dalam Ten Dash-Line karena memepet dan menjangkau lebih ke dalam pada wilayah perairan Indonesia dan merangsek masuk ke wilayah Indonesia yang telah ditentukan sesuai dengan hukum internasional. 

Di lain sisi, klaim sepihak tersebut bertentangan dengan ketentuan konvensi PBB tentang hukum laut atau lebih dikenal dengan United Nation Convention of Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982, yang turut diratifikasi oleh China dan Indonesia, maka secara normatif China mesti tunduk terhadap UNCLOS dan mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengan kebijakan a quo.

Pemerintah Indonesia dalam hal ini Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi meminta klarifikasi oleh China terhadap persoalan ini, dan menegaskan bahwa pemerintah China harus mengeluarkan peta yang berkesesuian dengan hukum internasional, yakni sejalan dengan UNCLOS 1982. Penegasan tersebut untuk menunjukkan konsistensi Indonesia terhadap ketentuan hukum Internasional yang juga diratifikasi oleh China.

Peta yang dirilis tersebut berbeda dengan yang dirilis dan diserahkan oleh China kepada PBB pada tahun 2009 tentang Laut China Selatan. Mulanya wilayah itu dibatasi dengan 9 garis putus-putus, namun kini meluas menjadi 10 garis putus-putus. Ten Dash-Line yang berbentuk huruf U tersebut adalah klaim China yang memperluas lebih jauh jangkauan kekuasaan teritorialnya di wilayah perairan Laut China Selatan dengan perkiraan mencapai 90% dari total luas perairan tersebut.

Berdasarkan UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU Nomor 17 Tahun 1985, negara Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) 200 mil laut dan lebar laut teritorial 12 mil serta tidak ada perairan bebas atau perairan internasional di antara pulau satu dengan pulau lainnya. Namun yang sering menjadi bahan perbincangan adalah ZEE Indonesia di wilayah perairan Natuna Utara, karena di wilayah tersebut masih cukup sering dilanggar oleh negara lain.

China adalah negara yang menjadi langganan bagi kapal-kapalnya melakukan pelanggaran di wilayah perairan Natuna Utara, bahkan hingga memaksa untuk melakukan pengusiran terhadap kapal nelayan lokal oleh coast guard dari China. Ketegangan di perairan Natuna utara atas kehadiran kapal asing China yang ilegal telah dilawan oleh Pemerintah Indonesia, bahkan menjadi sinyal tegas atas keberpihakan untuk menjaga kedaulatan wilayah perairan tersebut. 

Pada tahun 2016 Presiden Joko Widodo mengadakan rapat cabinet terbatas di atas KRI Imam Bonjol 383 di perairan Natuna Utara. Rapat terbatas itu digelar Bapak Jokowi beberapa saat setelah TNI AL menyergap kapal China di perairan Natuna pada Juni 2016. Kemudian hal yang sama masih sering terulang, China membangkang dengan tetap menghadirkan kapal-kapalnya untuk berlayar dan bahkan mengusir nelayan lokal yang sedang melaut untuk mencari ikan di perairan Natuna Utara, di wilayah kedaulatan Indonesia sendiri. 

Kesaksian oleh seorang nelayan dalam sebuah wawancara, Pak Dedi nelayan lokal di Natuna mengatakan bahwa ketakutan untuk melaut itu ada karena kapal penangkap ikan dan coast guard China senantiasa berlayar di perairan Indonesia. Pada tanggal 26 oktober 2019, Pak Dedi diusir oleh coast guard China padahal beliau sedang berlayar untuk menangkap ikan di perairan Indonesia, di wilayah laut Natuna Utara.

 Lalu pada saat permulaan Januari 2020, Presiden Joko Widodo Kembali hadir langsung di perairan Natuna Utara untuk menegaskan bahwa wilayah laut tersebut adalah wilayah teritorial Indonesia. Mirisnya adalah tak berselang lama setelah kehadiran Bapak Jokowi untuk menegaskan kedaulatan Indonesia, kapal coast guard China kembali beroperasi atau berlayar di perairan Natuna Utara.

Maka untuk menjamin kedaulatan teritorial laut Indonesia di perairan Natuna Utara, ada dua poin penting yang mesti dicermati bersama dan dipertimbangkan untuk dijadikan tawaran solusi terkait persoalan tersebut. Pertama ialah kerjasama yang masif antar-anggota negara di ASEAN, dengan upaya penegakan hukum internasional yang diratifikasi bersama dan mengadakan investigasi lapangan untuk meminimalisir potensi konflik yang kemungkinan akan timbul. 

Pendekatan untuk penguatan ini adalah untuk melanggengkan kedaulatan negara-negara Pantai di Kawasan Laut China Selatan. Terkait dengan sengketa antar negara mesti diselesaikan dengan secara sistematis sesuai kaidah hukum yang berlaku, namun kecenderungan kerjasama ini lebih kepada persatuan negara-negara anggota ASEAN untuk menghentikan kesewenang-wenangan dari tindakan provokasi kapal-kapal China dan khususnya Pemerintah China karena tindakan ilegal seperti itu berdampak juga kepada negara Pantai yang lain di Kawasan. 

Dibutuhkan investigasi lapangan yang secara prosedural diterjemahkan sebagai pembentukan tim bersama atau semacam satuan tugas yang senantiasa berpatroli di kawasan untuk menjamin kedaulatan masing-masing negara Pantai dan menghalau Tindakan ilegal dari kapal China. Tim satuan tugas ini dapat diisi oleh para personel yang didelegasikan oleh negara-negara anggota ASEAN.

Poin terakhir ialah kepastian operasional lapangan yang terjamin di perairan Natuna Utara oleh para pihak terkait dan berwenang. Ada banyak instansi yang dapat menjaga dan menegakkan kedaulatan teritorial laut di Indonesia, misalnya seperti Badan Keamanan Laut RI (BAKAMLA RI), TNI AL, Kementrian Kelautan dan Perikanan, dan lain sebagainya. 

Bila perlu dibentuk satuan khusus yang terdiri atas instansi atau Lembaga terkait, dengan melakukan penjagaan dan menjamin kedaulatan teritorial di perairan Natuna Utara. Hal itu dapat lebih menjaga kepercayaan masyarakat untuk melaut dan berlayar di wilayah sendiri dengan rasa aman terlindungi, juga untuk menunjukkan pada dunia bahwa keberadaan kita terwujud secara de facto dengan kehadiran untuk memantau di perairan tersebut selama 24 jam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun