Mohon tunggu...
Bintang Pamungkas
Bintang Pamungkas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Giat melaksanakan hal positif yang cenderung ke arah pemberdayaan diri, baik berupa softskill maupun hardskill.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perairan Natuna Utara Harga Mati, Kedaulatan Tak Bisa Ditawar

31 Mei 2024   23:58 Diperbarui: 31 Mei 2024   23:58 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penegasan klaim China atas wilayah kekuasaan teritorial di Laut China Selatan Kembali digaungkan oleh mereka dengan merilis Peta Standar China Edisi 2023 pada hari senin, 28 Agustus 2023. Hal itu memancing respon geram atas negara-negara di wilayah Laut China Selatan, karena peta yang disebut sebagai Ten Dash-Line menabrak dan bahkan mengambil batas kedaulatan negara-negara Pantai tersebut, seperti India, Malaysia, Filiphina, hingga Taiwan. 

Pemerintah Indonesia juga turut merespon klaim sepihak oleh China terhadap Laut China Selatan yang termuat dalam Ten Dash-Line karena memepet dan menjangkau lebih ke dalam pada wilayah perairan Indonesia dan merangsek masuk ke wilayah Indonesia yang telah ditentukan sesuai dengan hukum internasional. 

Di lain sisi, klaim sepihak tersebut bertentangan dengan ketentuan konvensi PBB tentang hukum laut atau lebih dikenal dengan United Nation Convention of Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982, yang turut diratifikasi oleh China dan Indonesia, maka secara normatif China mesti tunduk terhadap UNCLOS dan mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengan kebijakan a quo.

Pemerintah Indonesia dalam hal ini Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi meminta klarifikasi oleh China terhadap persoalan ini, dan menegaskan bahwa pemerintah China harus mengeluarkan peta yang berkesesuian dengan hukum internasional, yakni sejalan dengan UNCLOS 1982. Penegasan tersebut untuk menunjukkan konsistensi Indonesia terhadap ketentuan hukum Internasional yang juga diratifikasi oleh China.

Peta yang dirilis tersebut berbeda dengan yang dirilis dan diserahkan oleh China kepada PBB pada tahun 2009 tentang Laut China Selatan. Mulanya wilayah itu dibatasi dengan 9 garis putus-putus, namun kini meluas menjadi 10 garis putus-putus. Ten Dash-Line yang berbentuk huruf U tersebut adalah klaim China yang memperluas lebih jauh jangkauan kekuasaan teritorialnya di wilayah perairan Laut China Selatan dengan perkiraan mencapai 90% dari total luas perairan tersebut.

Berdasarkan UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU Nomor 17 Tahun 1985, negara Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) 200 mil laut dan lebar laut teritorial 12 mil serta tidak ada perairan bebas atau perairan internasional di antara pulau satu dengan pulau lainnya. Namun yang sering menjadi bahan perbincangan adalah ZEE Indonesia di wilayah perairan Natuna Utara, karena di wilayah tersebut masih cukup sering dilanggar oleh negara lain.

China adalah negara yang menjadi langganan bagi kapal-kapalnya melakukan pelanggaran di wilayah perairan Natuna Utara, bahkan hingga memaksa untuk melakukan pengusiran terhadap kapal nelayan lokal oleh coast guard dari China. Ketegangan di perairan Natuna utara atas kehadiran kapal asing China yang ilegal telah dilawan oleh Pemerintah Indonesia, bahkan menjadi sinyal tegas atas keberpihakan untuk menjaga kedaulatan wilayah perairan tersebut. 

Pada tahun 2016 Presiden Joko Widodo mengadakan rapat cabinet terbatas di atas KRI Imam Bonjol 383 di perairan Natuna Utara. Rapat terbatas itu digelar Bapak Jokowi beberapa saat setelah TNI AL menyergap kapal China di perairan Natuna pada Juni 2016. Kemudian hal yang sama masih sering terulang, China membangkang dengan tetap menghadirkan kapal-kapalnya untuk berlayar dan bahkan mengusir nelayan lokal yang sedang melaut untuk mencari ikan di perairan Natuna Utara, di wilayah kedaulatan Indonesia sendiri. 

Kesaksian oleh seorang nelayan dalam sebuah wawancara, Pak Dedi nelayan lokal di Natuna mengatakan bahwa ketakutan untuk melaut itu ada karena kapal penangkap ikan dan coast guard China senantiasa berlayar di perairan Indonesia. Pada tanggal 26 oktober 2019, Pak Dedi diusir oleh coast guard China padahal beliau sedang berlayar untuk menangkap ikan di perairan Indonesia, di wilayah laut Natuna Utara.

 Lalu pada saat permulaan Januari 2020, Presiden Joko Widodo Kembali hadir langsung di perairan Natuna Utara untuk menegaskan bahwa wilayah laut tersebut adalah wilayah teritorial Indonesia. Mirisnya adalah tak berselang lama setelah kehadiran Bapak Jokowi untuk menegaskan kedaulatan Indonesia, kapal coast guard China kembali beroperasi atau berlayar di perairan Natuna Utara.

Maka untuk menjamin kedaulatan teritorial laut Indonesia di perairan Natuna Utara, ada dua poin penting yang mesti dicermati bersama dan dipertimbangkan untuk dijadikan tawaran solusi terkait persoalan tersebut. Pertama ialah kerjasama yang masif antar-anggota negara di ASEAN, dengan upaya penegakan hukum internasional yang diratifikasi bersama dan mengadakan investigasi lapangan untuk meminimalisir potensi konflik yang kemungkinan akan timbul. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun