PERAIRAN NATUNA UTARA HARGA MATI, KEDAULATAN TAK BISA DITAWAR
Â
"Di masa lampau kita menganjurkan cita-cita kedaulatan rakyat. Sekarang, setelah kita melahirkan Indonesia Merdeka, kita berhadapan dengan soal mempraktikkannya. Sekarang kita berhak untuk mempraktikkan apa yang kita pinang sebagai ciptaan hati dalam pergerakan rakyat sedia kala. Kita sekarang menghadapi ujian dari cita-cita kita itu, ujian tentang benar atau tidaknya. Ingatlah, bahwa orang luar mudah sekali mengukur kebenaran suatu cita-cita dengan hasilnya dalam praktik."
Penggalan kalimat di atas adalah sebagian kecil dari isi buku Demokrasi Kita yang ditulis oleh Bung Hatta, salah satu tokoh revolusioner terkemuka di era kemerdekaan yang sekaligus dikenal juga sebagai salah satu Founding Fathers Bangsa Indonesia. Perjuangan untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia dalam bentuk dan wujud apapun tak terelakkan.
Situasi yang memanas di Kawasan Laut China Selatan dapat mengganggu eksistensi Indonesia bilamana berdampak pada keutuhan kedaulatan kita, yang sejak dulu hingga kini diperjuangkan dengan semangat nasionalisme. Kepulauan Natuna bagian utara bersinggungan langsung dengan Kawasan Laut China Selatan yang notabenenya termasuk wilayah perairan yang konflik antar beberapa negara tertentu belum tuntas hingga kini di wilayah tersebut. Maka kemungkinan konflik di Laut China Selatan harus ditanggapi dan ditindak-lanjuti secara wajar dan serius demi menjamin keberlangsungan Bangsa Indonesia yang berdaulat.
Laut China Selatan sebagai kawasan maritim strategis di Asia, merupakan wilayah laut yang berbatasan atau bersinggungan dengan banyak negara. Setiap tahun, lebih dari setengah lalu lintas super-tanker melalui wilayah perairan tersebut dan hal demikian juga yang menjadikannya sebagai jalur pengiriman barang lewat laut tersibuk kedua di dunia. Laut China Selatan dikelilingi oleh sepuluh negara Pantai, yaitu China, Taiwan, Vietnam, Kamboja, Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, Filiphina, dan Indonesia.Â
Nilai strategis penting bagi jalur perdagangan dunia di Indo-Pasifik lewat perairan Laut China Selatan adalah potensi geografis yang sangat memadai untuk menjamin kelangsungan perekonomian global. Namun, di lain sisi terdapat juga kekayaan alam melimpah di sebaran Laut China Selatan. Berdasarkan verivikasi data oleh Council for Foreign Relations (CFR), terdapat sekitar 900 triliun kaki kubik gas alam.Â
Selain gas alam yang melimpah, terkandung juga cadangan minyak dengan estimasi kurang lebih 213 miliar barel atau hampir mencapai 80% cadangan minyak negara Arab Saudi. Dari segi komoditas pangan tak kalah menariknya, karena Laut China Selatan menyimpan kekayaan ikan melimpah dengan perkiraan sekitar 1/3 dari total keanekaragaman laut di dunia yang berkontribusi terhadap 10% dari total tangkapan ikan di dunia.
Di atas sebaran kekayaan melimpah di penjuru Laut China Selatan ini sering terjadi bersitegang antar negara bahkan menyebabkan konflik dan konfrontasi langsung maupun tidak langsung. Sengketa Laut China Selatan dalam pembahasan kali ini tidak bisa dipisahkan atas klaim sepihak oleh negara China dalam penentuan kebijakan atas kepemilikan wilayah laut tersebut.Â
Klaim ini mulanya muncul ketika China mengeluarkan kebijakan berupa wilayah kekuasaan di perairan tersebut dengan memproduksi peta Laut China Selatan yang memuat 9 garis putus-putus dan menjangkau hampir keseluruhan wilayah di Laut China Selatan. Kebijakan kekuasaan atas teritorial ini dipertegas ketika Partai Komunis Tiongkok berkuasa pada tahun 1953.Â
Landasan awal atas pembenaran klaim ini oleh China didasarkan terhadap Sejarah China kuno, yaitu pada saat Dinasti Han berkuasa pada abad ke-2 SM hingga kekuasaan Dinasti Ming dan Dinasti Qing pada abad ke-13 SM.