Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Deteksi Dini Kerawanan Pilkada

12 Maret 2020   01:32 Diperbarui: 12 Maret 2020   07:55 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wapres Ma’ruf Amin hadir dalam peluncuran IKP Pilkada 2020 di Jakarta, Selasa 25 Februari 2020. Foto: Humas Bawaslu RI

Indonesia akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. Daerah yang akan mengikuti pilkada serentak terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota dengan total 270 daerah. Menjelang pemilihan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah merilis Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2020. 

Berdasarkan IKP, Pilkada kabupaten/kota yang masuk kategori rawan tinggi sebanyak lima daerah. Di level pemilihan gubernur (Pilgub), disebut rawan tinggi jika skor kerawanannya berada di rentang 57,55-100. 

Kerawanan paling tinggi ditempati Sulawesi Utara (86,42), menyusul Sulawesi Tengah (81,05), Sumatera Barat (80,86), Jambi (73,69), Bengkulu (72,08), Kalimantan Tengah (70,08), Kalimantan Selatan (69,70), Kepulauan Riau (67,43), dan Kalimantan Utara (62,87). Adapun pilkada kabupaten/kota dengan kategori rawan tinggi adalah Manokwari (82,19), Mamuju (80,44), Sungai Penuh (76,90), Lombok Tengah (74,66), dan Pasangkayu (74,38).

Melihat angka-angkat itu, tampak cukup mengkhawatirkan dari sisi keamanan. Betapa tidak, seluruh daerah yang akan melaksanakan Pilgub masuk dalam kerawanan tingkat tinggi. 

Pemerintah dan seluruh instansi terkait perlu memperhatikan kerawanan yang bakal terjadi di daerah penyelenggara Pilkada. Jika ada sedikit celah terbuka, tentu kita tidak mengharapkan gangguan keamanan mewarnai halaman pemberitaan di media-media.

Selama ini black campaign, pembunuhan karakter, berita bohong atau hoax dan terakhir money politic masih menjadi isu sentral yang akan mengancam jalannya pelaksanaan Pilkada. 

Ancaman paling dikhawatirkan adalah hoax dan money politic. Masalah ini diperkirakan masih akan terjadi. Mengingat, isu itu digerakkan oleh kekuatan politik tertentu memobilisasi masyarakat agar memilih calon kepala daerah yang diusungnya.

Hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 lalu, praktik politik uang dan penyebaran hoax cukup besar. Aksi demonstrasi di kantor Bawaslu misalnya, arus informasi hoax mampu menggiring massa berdemonstrasi. Bahkan, antara masyarakat sendiri gaduh hanya karena hasil perolehan suara Pemilihan Presiden (Pilpres). Belum lagi money politic di beberapa daerah.

Berkembangnya isu itu bisa saja berujung pada konflik sosial. Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Kepolisian Negara Polri (Kabaharkam) Irjen Agus Andrianto telah menyampaikan, bahwa kuatnya arus informasi di media sosial menjadi pemicu konflik. 

Dalam catatannya, ada puluhan konflik sosial yang terjadi jelang Pemilu dan Pilkada pada periode 2018 hingga 2019. Pada Tahun 2018, terdapat 29 peristiwa konflik sosial. Memasuki Juli 2019, terjadi sebanyak 26 peristiwa konflik sosial yang salah satunya diakibatkan karena pengaruh media sosial,

Pada sisi lain, terorisme juga jadi bagian ancaman Pilkada. Kesigapan Polri mengamankan jalannya Pemilu 2019 dengan menangkap kurang lebih 29 terduga teroris yang dilakukan oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror. Mereka merencakan melakukan serangan bom pada 22 Mei 2019.

Kaitannya dengan hoax, pelaku teroris gencar membangun jejaring di media sosial. Sarana informasi itu digunakan untuk menghegomoni netizen agar tidak ikut dalam hari pemungutan suara. Bahkan hegomoni juga dimaksudkan menimbulkan kekacauan karena persoalan daftar pemilih.

Penyebaran konten berbau kebencian kebencian, entah kepada kandidat maupun negara, dimungkinkan terjadi selama pengawasan tidak efektif. Belum  lagi konten yang dilontarkan berbau doktrin ketidakyakinan atas metode "pemilihan langsung" sebagai solusi melahirkan pemimpin sebagaimana pemahaman mereka tentang pemimpin dan negara. 

Berdasarkan laporan We Are Social pada 2020, pengguna media sosial berjumlahnya 175,4 juta jiwa. Di mana sebagian besar dari pengguna sosial adalah kaum milenial dan disebut juga sebagai kelompok yang banyak mengakses berita politik menurut survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2019. 

Hasil survey itu menunjukkan 60,6 persen warga Indonesia telah mengakses berita politik melalui jaringan media sosial. Entah terpengaruh atau tidak, namun yang pasti anak muda ini sangat mudah termakan hoax isu politik. Paling tidak, ada potensi golput terjadi.

Antisipasi Sejak Dini  

Betapa besar ancaman Pilkada menjadi perhatian penting bari pemerintah dan instansi keamanan. Perlu ada koordinasi proaktif antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mendeteksi dan mengantisipasi titik kerawanan Pilkada. Hal ini perlu segera dilakukan demi menjaga pilkada bisa tetap berjalan lancar, aman, damai, dan demokratis.

Kondisi sosial masyarakat yang cukup dinamis dibarengi tingginya tensi politik antar kandidat, bisa saja membuat tingkat kewaspadaan menjadi longgar, bahkan sangat longgar. Komitmen mengamankan jalannya Pilkada bisa saja sia-sia.

Perlu ada kebijakan strategis untuk menekan terjadinya kerawanan Pilkada. Paling tidak, kebijakan ini bisa diberlakukan untuk pesta demokrasi selanjutnya dengan harapan Pilkada melahirkan pemimpin sebagaimana mestinya. Indonesia pernah merasakan kesuksesan pemilihan umum yang aman Pemilu 1955 dan 1998. Meskipun berbeda karakter, tapi sisi kerawanan tidak jauh berbeda.

Pelibatan Aktivis Organisasi 

Ada baiknya melibatkan aktivis organisasi. Sejatinya interaksi mereka cukup dinamis dengan masyarakat. Apalagi kehadirannya mudah diterima dengan baik sebagai kelompok intelektual muda. 

Melibarkan aktivis organisasi bisa memudahkan pemerintah mengurangi potensi kerawanan yang ada.  Belajar dari aktualisasi gerakan, mahasiswa selalu menjadi penyambut lidah rakyat. 

Seluruh potensi gerakan dimanfaatkan guna menyampaikan pokok-pokok pikiran atas satu masalah. Gambaran singkat itu bisa menjadi bahan pertimbangan.

Dalam konteks mengurangi potensi kerawanan Pilkada, aktivis organisasi bisa dilibatkan pada ranah teknis yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Sosialisasi misalnya, kalau penyelenggara melakukannya  hanya unsurpenyelenggara saja, dimungkinkan tidak efektif. Mengingat padatnya agenda serta waktu yang tidak panjang.

Minimnya sumber daya manusia di penyelenggara dimungkinkan tidak efektif jika hanya bekerja sendiri. Banyaknya jumlah daerah membutuhkan sumber daya manusia untuk diterjunkan ke masyarakat agar masyarakat mau memilih. Kalau aktivis organisasi dilibatkan, pesan-pesan pilkada damai dan aman lebih cepat tersampaikan kepada masyarakat. 

Jika semua komponen yang terlibat menjalankan perannya dengan baik dan tertruktur, harapan untuk menciptakan pilkada yang demokratis sangat terbuka. 

Demokratisasi di ajang politik lokal perlu diperjuangkan bersama, karena itu merupakan jalan untuk melahirkan pemimpin daerah yang berkualitas. Kepala daerah yang lahir dari kontestasi yang demokratis menjanjikan lahirnya pemimpin yang mampu membawa daerah ke arah kemajuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun