Indonesia akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. Daerah yang akan mengikuti pilkada serentak terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota dengan total 270 daerah. Menjelang pemilihan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah merilis Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2020.Â
Berdasarkan IKP, Pilkada kabupaten/kota yang masuk kategori rawan tinggi sebanyak lima daerah. Di level pemilihan gubernur (Pilgub), disebut rawan tinggi jika skor kerawanannya berada di rentang 57,55-100.Â
Kerawanan paling tinggi ditempati Sulawesi Utara (86,42), menyusul Sulawesi Tengah (81,05), Sumatera Barat (80,86), Jambi (73,69), Bengkulu (72,08), Kalimantan Tengah (70,08), Kalimantan Selatan (69,70), Kepulauan Riau (67,43), dan Kalimantan Utara (62,87). Adapun pilkada kabupaten/kota dengan kategori rawan tinggi adalah Manokwari (82,19), Mamuju (80,44), Sungai Penuh (76,90), Lombok Tengah (74,66), dan Pasangkayu (74,38).
Melihat angka-angkat itu, tampak cukup mengkhawatirkan dari sisi keamanan. Betapa tidak, seluruh daerah yang akan melaksanakan Pilgub masuk dalam kerawanan tingkat tinggi.Â
Pemerintah dan seluruh instansi terkait perlu memperhatikan kerawanan yang bakal terjadi di daerah penyelenggara Pilkada. Jika ada sedikit celah terbuka, tentu kita tidak mengharapkan gangguan keamanan mewarnai halaman pemberitaan di media-media.
Selama ini black campaign, pembunuhan karakter, berita bohong atau hoax dan terakhir money politic masih menjadi isu sentral yang akan mengancam jalannya pelaksanaan Pilkada.Â
Ancaman paling dikhawatirkan adalah hoax dan money politic. Masalah ini diperkirakan masih akan terjadi. Mengingat, isu itu digerakkan oleh kekuatan politik tertentu memobilisasi masyarakat agar memilih calon kepala daerah yang diusungnya.
Hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 lalu, praktik politik uang dan penyebaran hoax cukup besar. Aksi demonstrasi di kantor Bawaslu misalnya, arus informasi hoax mampu menggiring massa berdemonstrasi. Bahkan, antara masyarakat sendiri gaduh hanya karena hasil perolehan suara Pemilihan Presiden (Pilpres). Belum lagi money politic di beberapa daerah.
Berkembangnya isu itu bisa saja berujung pada konflik sosial. Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Kepolisian Negara Polri (Kabaharkam) Irjen Agus Andrianto telah menyampaikan, bahwa kuatnya arus informasi di media sosial menjadi pemicu konflik.Â
Dalam catatannya, ada puluhan konflik sosial yang terjadi jelang Pemilu dan Pilkada pada periode 2018 hingga 2019. Pada Tahun 2018, terdapat 29 peristiwa konflik sosial. Memasuki Juli 2019, terjadi sebanyak 26 peristiwa konflik sosial yang salah satunya diakibatkan karena pengaruh media sosial,