Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kemelut Perempuan dalam RUU Omnibus Law Ciptaker

7 Maret 2020   02:03 Diperbarui: 7 Maret 2020   02:42 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Awan mendung mengitari langit Indonesia menandakan akan turunnya hujan deras. Masuknya musim penghujan mengancam daerah-daerah yang menjadi langganan banjir dan longsor. 

Setiap tahunnya, indisen jatuhnya korban akibat bencana menempatkan Indonesia berada pada sisi siaga mitigasi bencana. Betapa tidak, kota sekelas Jakarta tak luput dari masalah banjir. Kini, masalah itu telah terangkum dalam satu proposal politik.

Bobroknya drainase, sistem pengairan air, sampah berserakan di aliran sungai, hingga segudang faktor penyebab bencana tidak pernah terlesaikan dengan matang. Akibatnya, masyarakat menjadi korban atas semua masalah yang sedang terjadi.

Apa bedanya kemelut penanganan bencana dengan perempuan dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja? Saat ini, pemerintah sedang berupaya tampil lebih resolutif terhadap semua masalah ketenagakerjaan. Sampai harus menyentuh ranah privasi, sebagaimana ketika Negara sibuk mengurusi 'kasur rakyatnya' daripada dapur pejabat korupsi. 

Miris pula, manakala sikap resolutif mengancam eksistensi perempuan. Padahal, kalau ingin berfikir lebih manusiawi, biarkan mereka mengurusi privasinya sendiri, sementara Negara menyediakan akses hukum agar mereka merasa Negara benar-benar hadir dalam kehidupan mereka.

Arus kritik dari banyak kalangan mengindikasikan RUU Omnibus Law Cipta Kerja bukan sebagai resolusi atas masalah ketenagakerjaan. Manusia dari belahan Negara manapun, menginginkan tercapainya masyarakat adil makmur. Walaupun skema dan pola regulasi berbeda-beda, tampaknya sesuai dengan geopolitiknya. Bagaimana dengan Indonesia? Tampak tidak ada satupun harapan bagi perempuan untuk hidup di Negara serba "Omnibus" ini.

Lihat saja, tidak hak khusus perempuan dalam "undang-undang sapu jagad" ini alias tidak ada pasal mengenai perempuan atau kata perempuan. Berbeda dengan muatan undang-undang nomor 13 tahun 2003, hak perempuan disebut normatif. 

Namun justru di RUU Omnibus Law Cipta Kerja menyajikan segudang ancaman bagi perempuan di ranah ketegakerjaan.  Tidak ada satupun argumentasi rasional berikut pasal-pasalnya yang memberikan akses hak bagi perempuan untuk cuti karena melahirkan, hamil dan haid.

Terlepas dari diskursus antara logika modal dan keuntungan, logika industri dan investasi maupun kerja reproduksi sebagai penopang produksi capital dalam sistem kerja produksi partiarki, negara mesti menyediakan kases peningkatan kualitas hidup perempuan. 

Bayangkan, manakala perempuan hamil mengalami keguguran di ruang kerja, maukah negara bertanggungjawab? Akankah sesuatu yang telah hilang harus ditukar dengan kompensasi materi atas resiko yang telah terjadi?  atau spakah pantas Negara membayarnya dengan ucapan "innalillahi wa inna ilaihi raji'un" atau "RIP" atau ucapan belasungkawa lainnya ?  Sungguh miris menyaksikan omnibus law seakan-akan seperti malaikat pencabut nyawa.  

Perempuan memiliki hak-hak khusus yang tidak boleh disamaratakan dengan kaum laki-laki. Kalau kemampuan laki-laki dipaksakan bekerja dari pagi hingga malam, mungkin mereka bisa. 

Lantas bagaimana dengan perempuan, urusan domestik menjadi tanggung jawab mereka dan itu tidak boleh Negara mencapurinya. Masih banyak pertimbangan lainnya mengapa perempuan perlu mendapat hak-hak khusus dan hak lainnya. 

Aksi demonstrasi ratusan perempuan yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) didepan Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) pada Jumat 7 Maret 2020, merupakan kegelisahan kaum ibu terhadap masa depan anak-anaknya. 

Tuntutan penghapusan RUU Omnibus Law Cipta Kerja harus didengar dikarenakan ada potensi diskriminasi. Jika itu diberlakukan, negara sedang tidak adil dengan perempuan.

RUU Omnibus Law Cipta Kerja memang terkesan tidak menghargai perempuan. Anehnya, Kementerian PPPA sebagai instansi yang berurusan dengan pencegahan kekerasan terhadap perempuan, justru tidak mampu menjadi benteng melindungi hak-hak perempuan. 

Kemana mereka saat kaum ibu beringas karena regulasi yang membunuh? Apa jawaban Menteri PPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga manakala pendemo menanyakan soal empati sesama perempuan? sampai hari ini tidak ada jawaban.  Keberlangsungan hidup generasi di masa mendatang terkait seorang ibu yang tengah hamil dipaksa untuk terus bekerja menjadi tanda tanya besar.

Selain itu, peraturan Pajak Penghasilan Pasal 21 dinilai mempermainkan status sosial perempuan. Misalnya, para pekerja wanita yang sudah berkeluarga tetap dianggap sebagai lajang dan tidak akan mendapat penghasilan tanggungan keluarga. 

Jika dicermati baik-baik, sebenarnya peraturan itu adalah celah melahirkan diskriminasi terhadap perempuan. 

Sampai saat ini, sikap negara masih seputar mengumpulkan reaksi rakyat atas RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Tapi sampai kapan? menunggu anak-anak mereka kelaparan karena ibunya sibuk memperjuangkan masa depan anak-anaknya hingga tidak ada waktu memasak? 

Lemahnya institusi Kementerian PPA juga dipengaruhi kepemimpinan yang baru. Bukan untuk mencari kesalahan, tapi ini fakta yang terjadi dan kita bisa mencermati maksud dibalik ungkapan itu. 

Pada saat I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga  dilantik sebagai Menteri PPPA periode 2019-2024 pada Rabu 23 Oktober 2019, terungkap bahwa dirinya memiliki passion di isu ekonomi dan pembangunan, bukan di isu gender. Isu turunannya adalah pemberdayaan perempuan dalam dunia wirausaha. 

Katanya, passion itu membuat otaknya mulai jalan. Kalau diluar dari itu, berarti otaknya tidak jalan? Kan aneh....

Sebagai instansi khusus mengurusi perempuan dan anak, bagi Bintang, tugas kementeriannya yakni meningkatkan peran ibu dalam pendidikan terhadap anak dalam sebuah keluarga.

 Harapan besar, penurunan angka kekerasan dan pencegahan pernikahan dini bisa tercapai. Melihat isi dari RUU Omnibus Law Cipta Kerja, bukankah itu pemicu lahirnya kekerasan perempuan? 

Beginilah kemelut RUU Omnibus Law Cipta Kerja saat ini. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya Presiden Joko Widodo mengungkapkan konsep itu saat Pilpres 2019. Meskipun positif, namun jangka waktu saat diungkapkan dengan realisasinya cukup dekat. 

Kita patut curiga, mungkin tidak ada kajian ilmiah mengapa hak perempuan harus ditiadakan dalam "undang-undang sapu jagad" itu. 

Sekali lagi, ini bukan upaya mencari kesalahan pemerintah. Tapi ini kritik agar mereka juga sadar perempuan adalah makhluk yang patut dihargai hak-haknya. Kita perlu mendukung selama RUU Omnibus Law Cipta Kerja memberikan akses lebih baik dari aturan yang sebelumnya. 

Namun, selama itu tidak ada sama sekali, bahkan sedikitpun itu tidak ada, jangan menyalahkan perempuan sibuk berdemonstrasi daripada mendukung program pemberdayaan perempuan dalam bidang wirausaha, sebagaimana passion Menteri PPA. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun