Berlanjut ke dalam negeri, Indonesia menyelenggarakan Pemilu pertama pada tahun 1955 yang dikatakan sebagai pemilu paling demokratis sepanjang sejarah politik Indonesia. Â
Pemilu yang memperebutkan 260 kursi DPR dan 520 kursi Konstituante ditambah 14 kursi khusus untuk wakil golongan minoritas itu berjalan dengan baik. Total pemilih saat itu berjumlah 37.785.299 orang.
Dari hasil pemilihan, empat partai-partai terbesar adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan 8.434.653 suara (22,3%) dan 57 kursi, Masyumi dengan 7,903,886 suara (20,9%) dan 57 kursi, Nahdlatul Ulama dengan 6,955,141 suara (18,4%) dan 45 kursi, serta Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan 6,176,914 suara (16,4%) dan 39 kursi.
Penilaian sebagai pemilu paling demokratis bukan tanpa sebab. Saat itu, pemilu berlangsung aman di saat kondisi keamanan negara sedang tidak kondusif.Â
Bila membuka kembali sejarah kala itu, Indonesia sedang mengalami kekacauan, di Madiun misalnya. Tengah terjadi pemberontakan yang dilakukan kelompok DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang dipimpin oleh Kartosuwiryo.
Selain Pemilu 1955, kontestasi politik lima tahunan 1999 juga dinilai baik. Pemilu demokratis pertama sejak era Reformasi 1998 itu merupakan lembaran baru politik Indonesia pasca-Orde Baru yang diikuti berbagai kekuatan politik. Banyak partai baru bermunculan dan jumlah keikutsertaan mencapai 48 partai politik.
Usai perhitungan, pemilu 1999 dimenang partai politik baru, diantaranya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan perolehan suara di 11 provinsi dan 33,7 persen suara secara nasional. Kemudian, Partai Golongan Karya (Golkar) dengan dominasi suara di 13 provinsi dan persentase perolehan suara secara nasional sebesar 22,3 persen. Selanjutnya, Selanjutnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan porolehan suara 12,6 persen. Â
Setelah menyimak dua sejarah pemilu di atas, ternyata semangat nasionalisme mengantarkan Indonesia sebagai negara demokrasi yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Saat itu, belum ada geliat membahas politik transaksional, entah karena nasionalisme yang begitu besar atau tuntutan menemukan model demokrasi yang cocok bagi Indonesia. Â
Sampai hari ini belum ada catatan utuh yang mengulas sejak kapan politik transaksional muncul dalam gelaran pemilu di Indonesia. Namun yang pasti, pemilu pasca-reformasi kajian politik itu mulai banyak dibicarakan.
Poin penting yang bisa diambil, tensi politik pada dua pemilu di atas tidak jauh berbeda. Perhelatannya mampu membuktikan adanya siklus politik pemilu di Indonesia. Andaikan, pemilu pertama telah ada politik transaksional sebagaimana yang kita rasakan hari ini, sulit rasanya kandidat 'Miskin Financial' bisa mendapat perahu, sekalipun hanya mencalonkan di tingkat kabupaten.
Menjelang pilkada serentak 2020, politik transaksional bisa saja terjadi. Selama kandidat, politisi dan partai politik masih membudayakan politik itu, tentu tidak bisa diminimalisir lagi.