Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menteri yang Meluruskan Radikalisme

19 Oktober 2019   08:27 Diperbarui: 19 Oktober 2019   09:07 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seiring berjalannya waktu, radikalisme terus menjadi diskursus berbagai kalangan. Berbagai anasir-anasir menyimpulkan paham semacam itu mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, ada pula pandangan lain menilai radikal yang menjadi kata dasar dari radikalisme telah mengalami deformasi yang luar biasa. Pemaknaannya telah bergeser dari semangat berfikir progresif ke arah negatif dan reaksioner.

Menelisik sejarah Indonesia, tokoh terkemuka pergerakan nasional, Soekarno dalam risalahnya di tahun 1933, Mencapai Indonesia Merdeka, menganjurkan radikalisme lengkap dengan argumentasi yang tepat. Baginya, pemaknaan adikal bertumpu pada definisi tidak berkompromi dengan kolonialisme. Dalam konteks pergerakan kala itu, radikalisme sebuah antitesa dari gerakan moderat yang cenderung kompromis pada penguasa kolonial.

Sejarah mencatat, radikal memiliki efek besar terhadap masa depan bangsa Indonesia, mulai dari gerakan penghapusan perbudakan, gerakan anti-kolonialisme, gerakan feminis, gerakan buruh, perjuangan petani, gerakan lingkungan, dan lain-lain.

Pada dasarnya, radikal mesti identik dengan kaum progresif yang menganut paham perbaikan dari segala sisi menuju pembaharuan dan kemajuan. 

Mengurai konteks masa kini, terkadang radikalisme disematkan kepada kaum sektarianisme agama, suku, ras dan etnis. Apalagi, bagi kaum progresif yang menginginkan negara ke abad pertengahan. Namun, faktanya sumber radikalisme menyentuh konflik rasial, agama hingga pada konteks paling mengkhawatirkan, politisasi konflik sosial.

Gagasan revolusi mental sebagai senjata pemerintah Presiden Joko Widodo dinilai tidak optimal meluruskan radikalisme sesuai definisi yang semestinya. Banyak kajian pemerintah mengklaim fanatisme agama sebagai penyebab radikalisme.

Demikian dengan mahasiswa juga ikut terperangkap dalam penyematan itu. Padahal, berfikir radikal merupakan bagian dari kaderisasi demi memenuhi kualifikasi politis, teknis dan akademik mahasiswa.

Fakta yang terjadi, gelombang kritik mengenai ideologi negara, kriminalisasi kaum petani, perdebatan sejarah, hingga kritik Presiden juga dicap sebagai kaum radikalisme.

Padahal, kritik sebenarnya membuka alam berfikir bahwa kondisi sosial politik masyarakat cenderung berubah tiap detik.

Dalam kondisi itu, mestinya menjadi tugas memberikan pemahaman kebangsaan, agar masyarakat memahami diskursus kebhinekaan tidak bersifat dinamis. Justru yang diberikan kepada masyarakat sangat kaku dengan bahasa birokrat.

Saat ini masyarakat hanya membutukan penguatan pemahaman kebhinekaan. Sehingga masyarakat benar-benar memahami bahwa bangsa Indonesia merupakan negara yang multietnis. Adapun sikap membasmi bagi kelompok yang mengangkut paham itu, hanya makin memperkeruh suasana. Akibatnya,  masyarakat menilai pemerintah tidak berkompeten lagi mengajarkan tentang apa itu keberagaman.

Susunan kabinet kerja Presiden Joko Widodo mesti menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni memperjelas radikalisme itu. Kursi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan disingkat (Menko Polhukam), Menteri Pertahanan (Menhan), Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan jabatan lainnya belum mampu meluruskan radikalisme itu. Yang ada, dominasi konflik agama, sejarah dan ras dicap sebagai penyebab tingginya radikalisme di Indonesia.

Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu pernah mengungkapkan ada 19,4 persen Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak setuju dengan ideologi Pancasila.

Hal serupa juga disematkan sebanyak 19,1 persen pegawai perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ditambah lagi, sebanyak 8,1 persen pegawai swasta juga menganut paham radikal.

Hal serupa juga mengarah pada 23,4 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA setuju dengan konsep khilafah. Tak lupa pula, kurang lebih 3 persen anggota TNI terpengaruh oleh paham radikal yang bertentangan dengan Pancasila.

Menghubungkan data di atas dengan definisi radikal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikal sebagai: (1) secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip): perubahan yang --; (2) Politik, amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); (3) maju dalam berpikir atau bertindak. Jelas, pertentangan di atas sama sekali tidak ada kaitannya definisi yang sebenarnya.

Perdebatan tentang pancasila, sejarah, konflik agama dan ras tidak berkaitan dengan hal prinsip. Melainkan, masalah lemahnya kajian tentang kebhinekaan.

Lihat saja hasil dari perdebatan itu, sama sekali tidak ada yang konsisten merubah sesuatu yang sudah di pupuk sejak awal. Khilafah misalnya, tuntutan sebernarnya hanya mengganti sistem.

Kalaupun khilafah dijadikan sebagai ideologi, pemikir sekaliber HOS Djokroaminoto, Natsir, KH Ahmad Dahlan, Buya Hamka dan ulama lainnya tidak pernah berfikir sampai ke arah itu. Justru pancasila dinilai telah merangkul prinsip seluruh agama.

Apalagi, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut perubahan undang-undang, tidak ada dasar argumentasi jelas untuk menyematkan mereka sebagai kaum radikal. Tanpa kritis publilk, peraturan perundang-undangan tidak akan berjalan efisien. Jika itu yang dipakai, maka bukan hanya mahasiswa saja, tapi juga akademisi.  

Tidak ada salah jika berfikir radikal tentang apa saja. Justru, dinamika itu dijadikan sumber kerja-kerja pemerintah untuk lebih menguatkan lagi pemahaman tentang kebhinekaan.

Kedepan, porsi kerja seperti itu harus diisi oleh unsur yang berkompeten. Entah itu dari kalangan profesional dibidang radikalisme, akademisi atau aktivis pergerakan. Setidaknya, ada backround aktivis.

Namun lagi-lagi, aktivis pergerakan dianggap berbahaya bagi pemerintah. Lihat saja, gelombang kritik hingga demonstrasi dinilai ancaman keutuhan NKRI. Jika ini terus dibiarkan, sulit membayangkan pemerintah berjalan tanpa ada keseimbangan.

Sulit pula membayangkan, kaum pergerakan dijadikan sumber malapetaka bagi visi politik pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun