Susunan kabinet kerja Presiden Joko Widodo mesti menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni memperjelas radikalisme itu. Kursi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan disingkat (Menko Polhukam), Menteri Pertahanan (Menhan), Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan jabatan lainnya belum mampu meluruskan radikalisme itu. Yang ada, dominasi konflik agama, sejarah dan ras dicap sebagai penyebab tingginya radikalisme di Indonesia.
Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu pernah mengungkapkan ada 19,4 persen Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak setuju dengan ideologi Pancasila.
Hal serupa juga disematkan sebanyak 19,1 persen pegawai perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ditambah lagi, sebanyak 8,1 persen pegawai swasta juga menganut paham radikal.
Hal serupa juga mengarah pada 23,4 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA setuju dengan konsep khilafah. Tak lupa pula, kurang lebih 3 persen anggota TNI terpengaruh oleh paham radikal yang bertentangan dengan Pancasila.
Menghubungkan data di atas dengan definisi radikal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikal sebagai: (1) secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip): perubahan yang --; (2) Politik, amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); (3) maju dalam berpikir atau bertindak. Jelas, pertentangan di atas sama sekali tidak ada kaitannya definisi yang sebenarnya.
Perdebatan tentang pancasila, sejarah, konflik agama dan ras tidak berkaitan dengan hal prinsip. Melainkan, masalah lemahnya kajian tentang kebhinekaan.
Lihat saja hasil dari perdebatan itu, sama sekali tidak ada yang konsisten merubah sesuatu yang sudah di pupuk sejak awal. Khilafah misalnya, tuntutan sebernarnya hanya mengganti sistem.
Kalaupun khilafah dijadikan sebagai ideologi, pemikir sekaliber HOS Djokroaminoto, Natsir, KH Ahmad Dahlan, Buya Hamka dan ulama lainnya tidak pernah berfikir sampai ke arah itu. Justru pancasila dinilai telah merangkul prinsip seluruh agama.
Apalagi, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut perubahan undang-undang, tidak ada dasar argumentasi jelas untuk menyematkan mereka sebagai kaum radikal. Tanpa kritis publilk, peraturan perundang-undangan tidak akan berjalan efisien. Jika itu yang dipakai, maka bukan hanya mahasiswa saja, tapi juga akademisi. Â
Tidak ada salah jika berfikir radikal tentang apa saja. Justru, dinamika itu dijadikan sumber kerja-kerja pemerintah untuk lebih menguatkan lagi pemahaman tentang kebhinekaan.
Kedepan, porsi kerja seperti itu harus diisi oleh unsur yang berkompeten. Entah itu dari kalangan profesional dibidang radikalisme, akademisi atau aktivis pergerakan. Setidaknya, ada backround aktivis.