Setiap pesta demokrasi, selalu ada sensasi kontroversi yang muncul diakhir kompetisi. Ia bukan bagian dari tahapan konstitusional, namun menjadi warna tersendiri di dalam politik yang makin intensif.
Dalam siklus pemilu kali ini, bagi sebagian kalangan, Prabowo Subianto adalah salah satu sensasi kontroversi tersebut. Bukan soal sifatnya yang tempramen serta bukan juga sindirannya kepada wartawan.
Panggung politik bagi Prabowo sunguh tidak ada habisnya. Awal mula panggung politik diciptakannya sejak 2009 bersama Megawati Soekarnoputro sebagai capres dan Prabowo cawapres. Kemudian, Prabowo maju lagi di Pilpres 2014 menggandeng Hatta Rajasa. Sedangkan Pilpres 2019, menggandeng Sandiaga Uno dan masih menunggu kemenangan yang sesungguhnya.
Munculnya Prabowo disetiap pesta demokrasi, menjadi daya tarik tersendiri. Pemikiran keindonesiaan dilirik ratusan ribu, bahkan lebih sejuta orang. Prabowo selalu menempatkan dirinya sebagai representatif rakyat yang menginginkan Indonesia tampil sebagai negara kuat dan sejahtera.
Tidak sedikit kalimat yang diutarakan mengandung kontroversi serta menyinggung salah satu pihak. Walaupun sebenarnya ingin merubuhkan orang-orang itu, justru Prabowo mengemasnya dengan kalimat general. Itu bisa dilihat dari berbagai pidato-pidatonya. Â
Posisi seperti ini baik dan perlu oleh para kontestan Pilpres. Namun di sisi lain, beberapa hari paska pemungutan suara 17 April 2019 lalu, posisi dan penjelasannya mulai memperlihatkan sebuah kegamangan dalam dirinya sendiri. Di sisi luar, Ia kelihatannya semakin percaya diri menang dengan prosentase suara 62 persen. Tapi bagain dalam, sebut saja hati nurani, khawatir tidak beruntung menjadi presiden setelah empat kali mencoba peruntungan di pentas politik.
Dalam catatan arsip Harian Kompas dan dokumentasi Kompas.com, putra dari ekonom Soemitro Djojohadikoesoemo itu mendirikan Partai Gerindra sebagai kendaraannya maju di pilpres 2009. Sayangnya, partainya kalah kuat dengan PDIP. Supaya bisa memastikan memegang tampuk jabatan, posisi capres diberikan kepada Megawati Soekarnoputri, sementara Prabowo mendampingi sebagai calon wakil presiden. Namun Prabowo gagal menjadi wakil presiden setelah dikalahkan Susilo Bambang Yudhoyono berpasangan dengan Budiono. Moment itu jadi kekalahan pertamanya.
Tidak mau dicap sebagai korban Pilpres, Prabowo kembali maju di Pilpres 2014 dengan menggandeng Ketua Umum PAN Hatta Rajasa. Pasangan itu didukung Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Partai Persatuan Pembangunan. Â Hasilnya sama saja, Prabowo harus mengakui keunggulan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Untuk ketigakalinya, Prabowo mengaku kalah.
Bukan Prabowo namanya kalau cepat menyerah. Pilpres 2019 Prabowo menantang Joko Widodo dengan menggandeng Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Sandiaga Uno. Pasangan ini optimis dengan dukungan Partai Gerindra, Partai Demokrat, PKS dan PAN. Prabowo-Sandiaga akan head to head dengan Jokowi yang kali ini menggandeng Ketua Umum MUI Ma'ruf Amin.Entah Probowo kembali berpidato yang sama atau tidak, menunggu kepastian resmi KPU.
Dengan demikian, kalau konsep petarung digunakan, Prabowo tidak bisa disamakan dengan Hillary Clinton dan Grace Natalie. Kisah Hillary pada Pilpres Amerika Serikat 2016 lalu menegaskan kekalahan sehari usai pemilihan kepada Donal Trump. Meskipun media, lembaga survei dan situs fivethirteight.com memprediksi mantan menteri luar negeri AS ini akan menang, fakta berbalik arah.
Begitu juga Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie, meyakini dominasi kaum milenial bisa meloloskan partainya masuk Parlement Treshold atau ambang batas parpol. Apalah daya, kenyataan menundukkan PSI diangkat 2 persen. Beberapa hari kemudian, Grace pun mengakui kekalahannya dihadapan pendukung setianya.
Dalam Pilpres AS 2016, Hillary harus menelan pil pahit setelah prediksi lembaga survei ditepis dengan kenyataan yang ada. Perolehan 232 suara tidak mampu menundukkan Donal Trump dengan perolehan 306 suara berdasarkan perhitungan elektoral vote.
Padahal, lembaga survei saat itu memprediksi angka kemenangan Hillari 85 persen dari New York Times, Reuters 90 persen. Tapi dimentahkan, Hillary kalah.
Sama halnya dengan PSI. Dominasi pemilih milenial di Indonesia serta caleg mudanya diprediksi bisa menembus ambang batas parlemen. Sayangnya, Grace menyudahi keriaannya dengan kenyataan yang ada.
Hikmah dibalik kisah dua petarung kalah, Hillary menyerukan kepentingan negara daripada kepentingan kemenangan. Begitu juga dengan Grace, semboyan partai anti korupsi dan anti intoleransi jadi isu utama dalam menjalankan roda parlemen dan kepartaian.
Bagaimana kisah Prabowo saat ini? ia sedang menghadapi perbedaan perhitungan suara menurut internal BPN dan lembaga survei. Hasil perhitungan berjalan lembaga survei serta Libang Kompas menunjukkan kemenangan Jokowi. Sementara internal BPN menghasilkan 62 persen untuk Prabowo.
Tentu hasil ini tidak memuaskan dirinya. Bahkan dicurigai intrik kubu Jokowi memainkan peran menggagalkan dirinya menjadi presiden. Entah kecurigaan itu berbentuk kecurangan atau salah memasukkan data C1, itu urusan pihak berkompeten.
Akan tetapi, patut ditunggu apakah hasil perhitungan KPU membenarkan kemenangan itu milik Prabowo ataukah ternyata milik Jokowi, kita tunggu hasilnya. Menariknya lagi, kita tunggu Prabowo kembali berpidato. Kalau menang, saya harap Sandi bisa hadir dalam pidato Prabowo. Kalau ternyata kalah, mungkin saja ada gugatan dari BPN. Jika ternyata kalah juga, jika saya menjadi seorang Prabowo, rasa-rasanya malu kalau mengulangi pidato yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H