Tampak angkat di atas menunjukkan kemenangan Prabowo-Sandi. Setelah munculkan kembali, angka itu berubah menunjukkan kemenangan Prabowo-Sandi.
Tentu kesalahan itu memantik anggapan bahwa ada intrik dari lembaga survei dengan sengaja memicu opini publik bahwa pemenangan Pilpres adalah Jokowi-Ma'ruf Amin.
Di sisi lain, kedua kubu menanggapi hasil perhitungan cepat dengan statment berbeda-beda, Moeldoko misalnya mengatakan jangan dulu berpikir ada kecurangan.
Sementara di Prabowo mengungkapkan banyak pendukung Prabowo yang merasa dirugikan karena tidak dapat memilih akibat terkendala berbagai alasan. Tentu maksud Prabowo ada kecurangan di pihak penyelenggaran dengan sangaj membuat pendukungnya tidak memilih.
Faktanya, memang benar. Ada jutaan orang dipastikan tidak bisa menyalurkan hak pilihnya karena kekurangan surat suara. Surat suara dicetak berdasarkan daftar pemilih tetap (DPT) ditambah 2 persen surat suara.
Ternyata banyak warga yang menggunakan KTP berbondong-bondong ke TPS untuk memilih. Parahnya, banyak warga pemegang C6 dan A5 tidak dapat memilih karena surat suara tidak mencukupi.
Artinya, dimungkin warga itu adalah pendukung Prabowo-Sandi, bisa juga Jokwo-Ma'ruf Amin. Menebak apakah itu mereka atau tidak, sulit sekali. Gimik dan bahasa tubuh menunjukkan orang yang sedang mempertahankan sesuatu. Di sisi lain, protes berapi-api memaksanakan diri memilih agar Prabowo tidak kalah. Semuanya itu bisa saja terjadi.
Menariknya, pemberitaan di media didominasi klaim kemenangan Prabowo-Sandi. Sementara di kubu Jokowi-Ma'ruf hanya segelintir elit yang menanggapi hasil kemenangan menurut quick count. Entah ada instruksi untuk tidak menanggapi lebih dulu sebelum ada hasil resmi KPU, atau sengaja memancing Prabowo bernyanyi ditengah kekalahannya, setelah itu ditajatuhkan.
Bahkan bisa saja, keriaan dan dominasi Prabowo merupakan sikap ingin membuktikan kepada masyarakat adanya kecurangan dalam pemilu dan perhitungannya.