Meskipun Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum mengumumkan secara resmi siapa yang menang dalam debut Pilpres 2019, capres Joko Widodo (Jokowi) dan capres Prabowo saling klaim kemenangan.
Masyarakata di bumi Nusantara ini pasti sudah mengira-ngira Jokowi-Ma'ruf Amin memenangkan debut Pilpres 2019. Tapi, Jokowi memberikan kesan dingin dengan senyum tipis usai pidato kemenangan lalu menekankan seluruh pendukung menunggu hasil perhitungan KPU.
Sementara Prabowo begitu optimis dengan hasil kemenangan 62 persen berdasarkan perhitungan internal BPN. Memakai logika petarung, tentu keduanya bisa dibilang telah memenangkan Pilpres 2019. Tinggal menunggu hasil resmi KPU.
Pemilu kali ini terbilang cukup keras dan terkesan kasar. Dari strategi yang digunakan, tentu hasilnya berbeda dengan Pemilu sebelumnya. Parahnya ada yang menyebut hasil hitung cepat tidak dapat dipercaya.
Proses perhitungan quick count menunjukkan kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin dengan selisih 5 persen. Sementara ada pula yang mengklaim bahwa kemenangan itu sebenarnya berada dipihak Prabowo-Sandi.
Menariknya, hasil hitung cepat dicurigai ada hacker yang dengan sengaja memutar balikkan poin kemenangan Prabowo-Sandi menjadi Jokowo-Ma'ruf Amin. Benar atau tidak, saya tidak tahu.
Kemenangan sulit diprediksi ditengah arus perseteruan dua capres petahana. Disamping pernah bertarung habis-habisan 2014 lalu, Prabowo tentu belajar banyak dari pengalaman sebelumnya. Terutama celah kekalahan yang pernah dialami.
Berdasarkan hasil hitung cepat Pilpres Litbang Kompas menunjukkan 54.54 persen untuk pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin dan 45.46 Prabowo-Sandi.
Sementara lima lembaga surveri diantaranya LSI Denny JA, Indobarometer, Charta Politika, SMRC, Poltracking dan Voxpol rata-rata memenangkan Jokowi-Ma'ruf Amin dengan selisih 9-10 persen suara dari Prabowo-Sandi.
Menariknya, dibalik hitung cepat lembaga survesi di atas, salah satu live dialog ditengah proses quick count di Metro TV berlangsung, terlintas kesalahan menayangkan hasil hitung cepat.
Tampak angkat di atas menunjukkan kemenangan Prabowo-Sandi. Setelah munculkan kembali, angka itu berubah menunjukkan kemenangan Prabowo-Sandi.
Tentu kesalahan itu memantik anggapan bahwa ada intrik dari lembaga survei dengan sengaja memicu opini publik bahwa pemenangan Pilpres adalah Jokowi-Ma'ruf Amin.
Di sisi lain, kedua kubu menanggapi hasil perhitungan cepat dengan statment berbeda-beda, Moeldoko misalnya mengatakan jangan dulu berpikir ada kecurangan.
Sementara di Prabowo mengungkapkan banyak pendukung Prabowo yang merasa dirugikan karena tidak dapat memilih akibat terkendala berbagai alasan. Tentu maksud Prabowo ada kecurangan di pihak penyelenggaran dengan sangaj membuat pendukungnya tidak memilih.
Faktanya, memang benar. Ada jutaan orang dipastikan tidak bisa menyalurkan hak pilihnya karena kekurangan surat suara. Surat suara dicetak berdasarkan daftar pemilih tetap (DPT) ditambah 2 persen surat suara.
Ternyata banyak warga yang menggunakan KTP berbondong-bondong ke TPS untuk memilih. Parahnya, banyak warga pemegang C6 dan A5 tidak dapat memilih karena surat suara tidak mencukupi.
Artinya, dimungkin warga itu adalah pendukung Prabowo-Sandi, bisa juga Jokwo-Ma'ruf Amin. Menebak apakah itu mereka atau tidak, sulit sekali. Gimik dan bahasa tubuh menunjukkan orang yang sedang mempertahankan sesuatu. Di sisi lain, protes berapi-api memaksanakan diri memilih agar Prabowo tidak kalah. Semuanya itu bisa saja terjadi.
Menariknya, pemberitaan di media didominasi klaim kemenangan Prabowo-Sandi. Sementara di kubu Jokowi-Ma'ruf hanya segelintir elit yang menanggapi hasil kemenangan menurut quick count. Entah ada instruksi untuk tidak menanggapi lebih dulu sebelum ada hasil resmi KPU, atau sengaja memancing Prabowo bernyanyi ditengah kekalahannya, setelah itu ditajatuhkan.
Bahkan bisa saja, keriaan dan dominasi Prabowo merupakan sikap ingin membuktikan kepada masyarakat adanya kecurangan dalam pemilu dan perhitungannya.
Boleh jadi, kesunyian di kubu Jokowi adalah bentuk ketegangan apakah menang atau tidak. Mungkin kalah atau menang tipis. Apapun hasilnya, banyak orang menduga kemenangan ada ditangan Jokowi-Ma'ruf.
Keterlambatan logistik dan masalah hak pilih menjadi dasar pemikiran bahwa kemenangan sejatinya tanpa masalah krusial. Soal logistik dan hak pilih merupakan dua hal prinsipil dalam Pemilu.
Terlambatnya logistik ke KPPS bisa memakan waktu warga untuk memilih. Akhirnya enggan ke TPS dan memilih untuk bekerja. Parahnya apabila hak pilih tidak terpenuhi, tentu saja mengancam hilangnya suara. Entah itu pendukung Jokowi atau Prabowo, sulit diidentifikasi.
Masalah lainnya, masih ada beberapa daerah yang belum melaksanakan pencoblosan. Misalnya 7 wilayah di Kabupaten Banggai dan Provinsi Papua. Dua daerah itu merupakan basis capres, Papua basis Jokowi dan Sulteng basis Prabowo melalui Gubernur Sulteng sebagai Ketua DPD Gerindra Sulteng.
Terlambatnya dua daerah itu melakukan pecoblosan, memicu adanya kecurangan di pihak penyelenggara. Dibalik itu, dua tim sukses bisa saja menggunakan taktik serangan akhir menjelang hari esok pemilihan. Akan banyak di rumah-rumah warga para tim sukses dan pendukung mengajak memilih capres.
Banyak hal yang bisa mengubah situasi menjadi terbalik. Perlu ditanggapi dengan bijak, bahwa kemenangan itu benar-benar meyakinkan setelah KPU mengumumkan hasilnya. Apalagi saat ini, masih ada beberapa wilayah yang belum melakukan pencoblosan.
Adapaun klaim kemenangan dari kedua capres bukanlah satu hal yang perlu disikapi melalui keriaan pesta atau aksi perayaan dalam bentuk long march. Sebaiknya menunggu hasil resmi dari KPU. Hasil itulah menjadi dasar Presiden dan Wakil Presiden dilantik, bukan hasil hitung cepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H