Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Sengkarut Remisi Susrama

29 Januari 2019   04:12 Diperbarui: 29 Januari 2019   04:15 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selalu ada waktu para narapidana mendapatkan remisi atau pengurangan masa tahanan. Pemberian remisi tidak selalu dimaknai sebagai masalah hukum serius. Melainkan, demi menjunjung tinggi hak asasi manusia, hukum harus dapat memberikan kepastian hidup seseorang serta esensi keadilan dalam wujud nyatanya.

Di sisi lain, pemberian remisi menjadi masalah besar manakala ada tekanan atau intrik politik. Tidak ada salahnya memakai pandangan ini. Apalagi jelang kontestasi Pilpres 2019, dalam kacamata politik, segalanya bisa saja terjadi. Kalau memakai pandangan ini, justru melahirkan masalah baru diluar kajian hukum serta mengundang orang-orang yang sangat membutuhkan panggung pencitraan.

Dua sisi ini telah menjadi wacana dikalangan pemikir hukum, pemangku kebijakan hingga kalangan profesi. Narapidana pembunuh AA Prabangsa, tidak jauh dari perdebatan antara politik dan kemanusiaan. Lebih tidak enak lagi, kalau menyebutnya sebagai perdebatan antara hukum dan dendam kesumat. Mengapa tidak, seorang jurnalis harus menerima perbuatan ini hanya karena mengungkapkan satu keberanan. Tentu, hati kecil ikut merasakan sakitnya perbuatan itu.

Upaya insan pers mencabut remisi Susrama dijawab Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly, bahwa pemerintah tidak akan meninjau ulang Keputusan Presiden Keppres Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberian Remisi Perubahan dari Penjara Seumur Hidup Menjadi Hukuman Sementara. Menurutnya, pemberian remisi sudah melalui prosedur, yakni melakukan penilaian oleh Tim Pengamatan Pemasyarakatan (TPP). Kemudian, TPP tingkat Lapas mengusulkan ke Kanwil Kemenkumham.

Sementara TPP tingkat Kanwil lantas menyampaikan kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Setelah itu, di tingkat Direktur Jenderal (Dirjen) kemudian membentuk TPP kembali untuk melakukan penilaian. Bila dicermati, memang tidak ada keterlibatan Presiden Joko Widodo dalam pemberian remisi ini. Itu artinya, remisi murni atas keadilan hukum tanpa membeda-bedakan.

Selain itu, juga dilengkapi dengan pertimbangan mulai dari Lembaga Pemasyarakatan, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, dan Kemenkumham.  

Dari sisi kemanusiaan, dari vonis seumur hidup Susrama sudah menjalani masa tahanan hampir 10 tahun. Dengan diberikan remisi, maka masa tahanan yang dijalani hanya 20 tahun. Jika dikalkulasi, Susrama menjalani masa tahan 30 tahun. Melihat umurnya sekarang, hampir memasuki 60 tahun. Jika menjalani masa tahanan 20 tahun kedepan, maka usianya meninginjak 90 tahun. Pada kesimpulannya, dijalani atau tidak dijalani, esensi hukumman seumur hidup tetap berlaku baginya.

Kedua sisi ini memang bertolak belakang. Susrama harus mendapatkan keadilan hukum sebagai warga negara Indonesia, juga dibenturkan dengan ganjaran hukum yang dihadapinya dimulai beberapa tahun silam.  

Mencermati remisi ini, tidak ada yang dilanggar oleh Susrama selama masa tahanan memiliki keperibadian baik dan mengikuti segala prosedur sehingga masuk dalam kategori napi mendapat remisi yang merupakan bagian dari filosofi pembinaan di lapas.

Jika prosedur dan ketentuan Kepres tidak bertentangan, tentu ada masalah baru yang harus dipecahkan. Bukan soal pemberian, melainkan Keppres itu sendiri. Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin, bakal melakukan upaya hukum melayangkan gugatan ke PTUN terhadap Keppres tersebut. Sementara, Ketua Umum AJI Indonesia, Abdul Manan juga melakukan hal yang sama dengan membujuk pihak keluarga AA Prabangsa sebagai kekuatannya. Mengikut pula Ketua AJI Surabaya, Miftah Faridl menilai menilai remisi untuk Susrama sebagai bentuk lain dari impunitas dan pengampunan. Baginya, praktik impunitas melalui remisi, menjadi preseden bahwa pelaku kekerasan terhadap jurnalis dan kebebasan pers mudah mendapatkan pengampunan.

Tidak jauh berbeda dengan pandangan, Ketua Pusat Studi Hak Asasi Manusia (HAM) Universitas Airlangga, Herlambang Wiratman bahwa pemberian remisi menunjukkan bahwa pemerintah tidak paham betul terhadap persoalan hak asasi, hukum dan demokrasi. Sebenarnya, justru persoalan ini bukan terletak pada ranah ketidakpahaman hak asasi, hukum dan demokrasi. Melainkan, sikap pemerintah yang ingin memberikan keadilan hukum tanpa melihat kebelakang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun