Tidak terasa debat perdana capres dan cawapres yang akan berlaga dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 bakal bergulir. Ketajaman argumen akan mengalihkan seluruh pandangan bangsa Indonesia kepada dua pertahana debat, Jokowi-Prabowo. Sebelumnya, kedua capres ini sudah bertemu dan memperlihatkan kualitas argumennya untuk memikat hati rakyat.Â
Meskipun berasal dari latar belakang berbeda, mindset sebagaian besar masyarakat tidak terpaku pada latar belakang keduanya. Entah sipil atau militer, sama-sama dibutuhkan untuk memimpin Indonesia.
Argumentasi sipil-militer dalam debat bisa membuka pikiran banga Indonesia yang sedang membutuhkan pemimpin tegas, tangguh, dan berani berkata iya pada kebenaran dan tidak untuk kesalahan.
Manakala seorang militer beradu argumen dalam ruang politik, apakah karakteristik militer merupakan cara untuk meyakinkan kazanah berfikir pemerintahan? Dalam seni perang, Niccolo Machiavelli berpendapat bahwa kehidupan dan kebesaran suatu negara hanya terjamin jika kekuatan militernya mendapat tempat yang layak dalam susunan kehidupan politik.Â
Lebih dalam lagi, dia berkata tidak mungkin ada hukum yang baik jika tidak ada tentara yang baik, dan di mana ada tentara yang baik pasti ada hukum yang baik. Sedangkan dalam Wacana-wacana Dekade Pertama Titus Livius (1519) dia menyimpulkan bahwa dasar negara adalah organisasi militer yang baik. (Gilbert dalam Earle, 1962 [1943]: 3-4).
Bagi militer sendiri, argumen merupakan strategi kemiliteran guna meyakinkan bangsa Indonesia. Senada dengan pandangan Sun Tzu bahwa menaklukkan lawan tanpa berperang adalah siasat yang baik.Â
Lewat argumentasi, bisa disusun siasat mematikan argumentasi lawan dengan cara berfikir lawannya. Ini menarik, seorang militer paham cara seperti itu. Tapi yang menariknya lagi, sifat absolut militer bisa jadi ancaman pikiran bangsa Indonesia yang menyimak debat.Â
Dalam frame kekuasaan absolut, Machiavelli mencatat ada ancaman merusak rakyat dengan membalikkan mereka menjadi kawan dan partisan. Bangsa Indonesia yang menyaksikan argumentasi militer, bakal ikut terhanyut dalam arus pikir ketegasan dan menjadi loyalis. Sehingga, argumen yang dilontarkan lewat intonasi dan langgam ala militer dianggap sebagai panggilan pimpinan. Adolf Hitler misalnya, tapi tidak ada Hitler dalam debat itu.
Simak ketika Prabowo tampil di mimbar, karakteristik militer melekat dalam langgam dimana pun ia tampil. Entah bicara kebangsaan atau pemerintahan. Segala arumentasi sifatnya general, kalimat idealisme disampaikan lewat suara lantang dan keras. Mendengarnya, seakan-akan mengingatkan kita pada Soekarno dan para pahlawan bangsa. Lantang dan keras, penjajah pu ketakutan. Inilah contoh sebuah argumentasi politik ala militer.
Sementara, argumen seorang sipil tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka sudah terlatih di berbagai jenjang tingkatan, mulai dari di tingkat lokal, provinsi, dan nasional dengan diperhadapkan masalah aktual di lapangan. Bukan lewat camp pelatihan, melainkan mengasa pikiran lewat berbagai  masalah yang ada.Â
Untuk menjawab masalah kesejahteraan misalnya, konsistensi majamenen organisasi sangat melekat dalam argumentasinya. Ditambah lagi dengan gaya merakyat, suka bergaul dengan kelas apa saja, membuatnya bisa berbicara dengan gaya apa saja. Jika rakyat memancing sisi homuris, seorang sipil mengerti ingin berkata apa.
Dalam pertarungan debat nanti, argumentasi sipil jadi lebih mudah dipahami. Sebab, argumentasi semacam ini mudah ditemukan dalam dialog masyarakat mereka sehari-hari. Sehingga, tidak sulit seorang sipil mengutarakan pokok pikiran tentang bangsa. Untuk mematahkan argumentasinya  lawan, cukup menggunakan data dan aturan yang ada.
Niccolo Machiavelli berpendapat bahwa kehidupan dan kebesaran suatu negara hanya terjamin jika kekuatan militernya mendapat tempat yang layak dalam susunan kehidupan politik.
 Ditambah lagi dengan pokok pikira, saya fikir cukup meyakinkan. Tidak perlu menggunakan kalimat idealis, justru ini bisa mengubah cara pandang bangsa Indonesia terhadap sosok figur seorang sipil. Argument seorang Jokowi misalnya, mudah dicermati. Penggunaan bahasa merakyat, pandangan kongkrit, dan tidak berbelit-belit. Banyak contoh arumentasi dalam kehidupannya yang bisa kita petik.
Meskipun perbedaan keduanya sangat mencolok, pertarungan argumentasi harus berada pada jalur keilmuan. Mampu menjawab segala masalah aktual di lapangan. Tapi dengan catatan, tidak hanya mahir dalam  berargumentasi, tetapi juga piawai menggunakan bahasa masyarakat untuk mengenalkan visinya keseluruh bangsa Indonesia dan dunia.
Menghadapi tema debat nanti, ketajaman argumentasi sangat dibutuhkan capres. Sebab, argumentasi terlalu keras, dapat mempengaruhi jiwa dan pikiran bangsa Indonesia. Ketakutan mengganggu jiwa mereka. Jadi seorang-olah berada di zaman perang.Â
Di balik itu pula, bisa jadi semua kalimatnya hanya syurga telinga belaka, tidak konkrit dan terlalu general. Demikian, kalau argumentasi terlalu lembek, bisa membuat bangsa Indonesia merasa tidak yakin serta menganggap capres itu tidak tegas dalam pengambilan keputusan. Mudah dipengaruhi dan dikendalikan.
Antara kata dan perbuatan tidak terpisah dari kapasitas seorang pemimpin dalam mengendalikan pemerintahan lima tahun ke depan. Cara bicara cukup menggambarkan akan jadi apa Indonesia lima tahun kedepan.
Dalam penyusunan visi dan misi tidak sekadar berisi pokok pikiran pembangunan. Â Tapi, menyusun metode menyampaikan pokok pikiran pembangunan. Walau sebagus apapun visi dan misi tersebut, jika penyampaiannya terlalu kaku, tegang, tidak akan efektif tersampaikan kepada bangsa Indonesia. Sifat humoris jadi kebutuhan penting dalam debat nantinya.Â
Menurut penelitian konsultan SDM internasional Hay Group, tipe kepemimpinan atau manajemen paling efektif pada era sekarang adalah yang bisa menimbulkan rasa humor. Itu artinya, penggunana humor dalam argumentasi bisa menenangkan urat syarat yang sedang tegang menghadapi berbagai tema debat.
Namun, pengguna humor jangan sampai bebas-nilai. Harus didukung teori dan logika yang memadai. Jangan sampai, humor bisa menurunkan kewibawaan seorang calom pemimpin. Khususnya, pokok pikiran pembangunan dalam visi dan misi tidak tersampaikan dengan efektif.
Tidak ada perbedaan antara visi dan misi kedua calon pemimpin dari latar belakang berbeda, semuanya lahir dari segala permasalahan aktual. Namun, lewat ketajaman argumentasi, bisa meyakinkan bangsa Indonesia bahwa visi dan misi yang telah disusun rapi jadi kunci jawaban masalah negeri ini. Â
Pasalnya, kedepan, visi dan misi para capres otomatis menjadi haluan pembangunan bangsa. Olehnya itu, pentingnya ketajaman argumentasi dalam menyampaikan pokok pikiran harus diperhatikan. Jika tidak, pendukung bisa saja beralih pilihan. Semua bisa berawal dari argumentasi. Â
Paslon Tidak Berani Bicara Soal HAMÂ
Dibandingkan isu hukum, korupsi, dan terorisme, agaknya isu HAM terus ramai diperbincangkan. Jelang sehari debat perdana, kubu Jokowi dan Prabowo saling menyindir tentang kasus HAM di Indonesia. Pada debat 2014 lalu, satu sama lain melontarkan pertanyaan berkaitan isu HAM. Prabowo misalnya, pernah ditanyai tentang penyelesaian kasus Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalau dan akan datang. Demikian Jokowi, kala itu juga ditanyai soal kasus HAM. Hasilnya, justru penyelesaian sampai dengan pemenuhan HAM tidak pernah terselesaikan. Sampai debat Pilpres 2019, HAM masih jadi primadona debat.
Diprediksikan, wacana HAM hanya sekadar melemparkan wacana lama yang sudah-sudah. Karena, pernyataan yang pernah dilontarkan sampai saat ini tidak terjawab. Justru semakin menambah rumit permasalahan HAM, mulai dari aktivis, petani, hingga persoalan perebutan tanah.Â
Direktur Lokataru Foundation Haris Azhar memprediksi kedua pasangan calon akan canggung saat membicarakan isu HAM dalam debat perdana nanti. Â Menurutnya, dalam isu ini, kedua paslon sama-sama memiliki keterkaitan dengan isu tersebut. Dugaan melindungi diri dari kejaran isu HAM, bisa dimaknai tidak ingin ada aib masa lalu dibahas kembali.Â
Jika Prabowo kerap kali disinggung soal keterlibatan dalam penculikan aktivis di tahun 1998, maka jokowi bakal disinggung soal bertambahnya daftar pelanggaran HAM di Indonesia.Â
Sudah pasti, Prabowo bakal menyangkal bahwa atas hasil penelitian Komnas HAM, tidak ada keterlibatannya dalam kasus 1998. Lalu bagaimana dengan Jokowi? Â Pastinya kasus-kasus HAM saat ini menanti untuk dijawab. Sama-sama tidak ada yang mau berkata jujur soal HAM. Ini menarik, sama-sama mau melindungi diri dari kejaran isu HAM. Bukan tidak mungkin, jika ini disinggung, kapasitas kedua capres bisa menurun. Pendukung paslon bisa berkurang, atau bisa saja Golput.
Baik sipil maupun militer, menyelesaikan kasus HAM 20-30 tahun lalu memang tidak mudah. Tapi bagi mereka yang menjadi korban HAM, merasa isu HAM hanya sekadar alat untuk meraup suara pada pilpres saat ini dan akan datang.Â
Sama halnya tidak seksi untuk dibahas. Walau begitu, sebagai calon kepala negara, harus benar-benar bertanggung jawab menyelesaikan kasus HAM yang ada. Sebab, HAM merupakan bagian terpenting dalam menjamin kehidupan manusia. Â Memilih Ketua Komnas HAM sebagai panelis bisa memancing paslon untuk lebih dalam mengulas soal isu HAM dalam debat.
Argumentasi dalam isu HAM harus menyentuh pada persoalan paling vital dan mampu dijawab sikap yang kongkrit. Harus ada jalan keluar dari semua permasalahan HAM. Jangan sampai, isu HAM masa lalu kembali diungkap karena tidak pernah selesai. Meski kasus HAM terus bertambah, mestinya ini yang harus dituntaskan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H