Tidak ada perbedaan antara visi dan misi kedua calon pemimpin dari latar belakang berbeda, semuanya lahir dari segala permasalahan aktual. Namun, lewat ketajaman argumentasi, bisa meyakinkan bangsa Indonesia bahwa visi dan misi yang telah disusun rapi jadi kunci jawaban masalah negeri ini. Â
Pasalnya, kedepan, visi dan misi para capres otomatis menjadi haluan pembangunan bangsa. Olehnya itu, pentingnya ketajaman argumentasi dalam menyampaikan pokok pikiran harus diperhatikan. Jika tidak, pendukung bisa saja beralih pilihan. Semua bisa berawal dari argumentasi. Â
Paslon Tidak Berani Bicara Soal HAMÂ
Dibandingkan isu hukum, korupsi, dan terorisme, agaknya isu HAM terus ramai diperbincangkan. Jelang sehari debat perdana, kubu Jokowi dan Prabowo saling menyindir tentang kasus HAM di Indonesia. Pada debat 2014 lalu, satu sama lain melontarkan pertanyaan berkaitan isu HAM. Prabowo misalnya, pernah ditanyai tentang penyelesaian kasus Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalau dan akan datang. Demikian Jokowi, kala itu juga ditanyai soal kasus HAM. Hasilnya, justru penyelesaian sampai dengan pemenuhan HAM tidak pernah terselesaikan. Sampai debat Pilpres 2019, HAM masih jadi primadona debat.
Diprediksikan, wacana HAM hanya sekadar melemparkan wacana lama yang sudah-sudah. Karena, pernyataan yang pernah dilontarkan sampai saat ini tidak terjawab. Justru semakin menambah rumit permasalahan HAM, mulai dari aktivis, petani, hingga persoalan perebutan tanah.Â
Direktur Lokataru Foundation Haris Azhar memprediksi kedua pasangan calon akan canggung saat membicarakan isu HAM dalam debat perdana nanti. Â Menurutnya, dalam isu ini, kedua paslon sama-sama memiliki keterkaitan dengan isu tersebut. Dugaan melindungi diri dari kejaran isu HAM, bisa dimaknai tidak ingin ada aib masa lalu dibahas kembali.Â
Jika Prabowo kerap kali disinggung soal keterlibatan dalam penculikan aktivis di tahun 1998, maka jokowi bakal disinggung soal bertambahnya daftar pelanggaran HAM di Indonesia.Â
Sudah pasti, Prabowo bakal menyangkal bahwa atas hasil penelitian Komnas HAM, tidak ada keterlibatannya dalam kasus 1998. Lalu bagaimana dengan Jokowi? Â Pastinya kasus-kasus HAM saat ini menanti untuk dijawab. Sama-sama tidak ada yang mau berkata jujur soal HAM. Ini menarik, sama-sama mau melindungi diri dari kejaran isu HAM. Bukan tidak mungkin, jika ini disinggung, kapasitas kedua capres bisa menurun. Pendukung paslon bisa berkurang, atau bisa saja Golput.
Baik sipil maupun militer, menyelesaikan kasus HAM 20-30 tahun lalu memang tidak mudah. Tapi bagi mereka yang menjadi korban HAM, merasa isu HAM hanya sekadar alat untuk meraup suara pada pilpres saat ini dan akan datang.Â
Sama halnya tidak seksi untuk dibahas. Walau begitu, sebagai calon kepala negara, harus benar-benar bertanggung jawab menyelesaikan kasus HAM yang ada. Sebab, HAM merupakan bagian terpenting dalam menjamin kehidupan manusia. Â Memilih Ketua Komnas HAM sebagai panelis bisa memancing paslon untuk lebih dalam mengulas soal isu HAM dalam debat.
Argumentasi dalam isu HAM harus menyentuh pada persoalan paling vital dan mampu dijawab sikap yang kongkrit. Harus ada jalan keluar dari semua permasalahan HAM. Jangan sampai, isu HAM masa lalu kembali diungkap karena tidak pernah selesai. Meski kasus HAM terus bertambah, mestinya ini yang harus dituntaskan.