Lucunya, ada usulan untuk mempersenjatai KPK, ini bukan solusi, bukan pula fase angkatan bersenjata. Ancaman hanyalah akses eksistensi belaka, bukan panggilan perang berserjata. Justru membuat KPK seperti angkatan semi-militer dan wibawanya terjung payung ke dasar jurang. Â Kewenangan KPK tidak bisa berada diranah itu.
Mestinya, pihak berwenang turun tangan melindungi KPK. Tidak ada kata pesimis untuk mengungkap dalang dibalik serangan ini, tapi pada kenyataannya tekanan otoritas politik yang tidak mau mengurusi hal semacam itu. Sampai pada serangan ke-9 kepada pimpinan KPK, pihak kepolisian belum mampu mengungkap dalamm dibalik serangan kepada lembaga antirasuah.
Selain itu, saya sepakat dengan isi dalam tulisan Haris Azhar, bahwa lima pimpinan KPK merupakan mainan politik kelompok-kelompok tertetu. Mereka adalah orang-orang yang tersandera oleh kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi. Hal ini membuat KPK sulit bertindak lebih tegas. Tradisi politik telah masuk dalam kehidupan penegak hukum.
Harusnya, dari awal rekrutmen pimpinan KPK harus dari kelompok lain yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan yang akan dihadapinya kelak memimpin. Kombinasi antar pimpinan di kubu KPK harus sinergi dan mengedepankan satu teknik pemberantasan. Bukan dari teknik versi dimana mereka didatangkan.
Kalau ini bisa dilakukan, saya yakin atmosfer KPK seketika berubah drastis. Selanjutnya tinggal menunggu apa hasil dari perubahan itu. Tapi ingat, tekanan politik masih terus ada, meski uang negara telah habis.
Sisi lain dari kehidupan KPK, tidak terlepas dari bagaimana memperlihatakan eksistensi kelompok tertentu. Salah satu yang paling sering diperbincangkan, menganggap satu peristiwa krusial sebagai pengalihan dari isu politik.
Dilansir dari Sindonews (9/1/2019), Anggota Komisi III DPR, Ahmad Sahroni menilai ada upaya membuat kekacauan jelang Pemilu serentak yang pelaksanaannya hanya menyisakan beberapa bulan lagi. Sahroni menduga pelaku sengaja membidik sasaran tokoh penting, dalam hal ini pimpinan KPK karena disinyalir akan menarik perhatian dengan harapan membuat masyarakat panik dan tidak aman. Pengalihan isu ini sudah biasa dilakukan kelompok tertentu. Belum ada cara efektif, memang ini mudah dilakukan.
Akibatnya, masyarakat tidak menyadari bahwa bom hanyalah alat  untuk mengancam ancaman yang dating dari anggota jaringan korupsi yang ditangani KPK.
Teror pertama adalah penyerbuan dan teror terhadap fasilitas KPK yang dikenal dengan nama 'safe house'. Kedua, ancaman bom ke gedung KPK. Ketiga, Â teror bom ke rumah penyidik KPK. Keempat, penyiraman air keras dan kendaraan milik penyidik dan pegawai KPK. Kelima, ancaman pembunuhan terhadap pejabat dan pegawai KPK. Keenam, perampasan perlengkapan milik penyidik KPK. Ketujuh, penculikan terhadap petugas KPK yang sedang bertugas. Kedepalan, percobaan pembunuhan terhadap penyidik. Terakhir, teror bom dan molotov di rumah dua pimpinan KPK. Penjelasan ini ada benarnya.
Dalam study korupsi menurut modal sosial, terror dianggap altenatif jika anggota jaringan merasa terancam. Study ini benar adanya ketika penilaian Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Faridz (Tirto.id: 9 Januari 2019,) bukan tidak mungkin teror kali ini berkaitan dengan penanganan perkara yang tengah dilakukan KPK.