Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

"Counter Attack" untuk Pimpinan KPK

12 Januari 2019   21:54 Diperbarui: 12 Februari 2019   11:58 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam laga elclasio, penyerangan terhadap tim lawan memiliki karakternya masing-masing. Barcelona misalnya, teknik Tiki Taka ibarat harta karun yang jatuh ditangan yang benar. Sekelas Real Madrid saat dibintangi Cristiano Ronaldo, kalang kabut membongkar pertahanan yang dikawal Gerard Pique dkk. Alhasil, dominasi kemenangan Barcelona pada setiap kali laga klasik digelar membuat Real Madrid terpaksa menelan buah simalakama. Meski begitu, kedua tim menampilkan permainan apik yang patut menjadi pelajaran tentang bagaimana seni sepak bola yang mencerdaskan.

Ini bukan menceritakan tentang saya sebagai fans Barcelona. Tapi, yang menarik disimak, saat Tim Katalan keasyikan menyerang. Tidak menyadari adanya celah tim lawan untuk menyerang. Saya boleh bilang, ini hanyalah efek positif dari sebuah kombinasi terbaik. Tidak ada yang sempurna dalam strategi sepak bola.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak lebih dari sebuah institusi kuat dinegeri ini untuk memberantas korupsi. Apa yang terjadi di kubu Barcelona, dari aspek lain ada kaitannya dengan serangan balik kepada dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo dan Laode M. Syarif, Rabu (9/1/2019).

Rumah Agus dikirimi tas berisi bom pipa palsu, sedangkan rumah Laode M. Syarif dilempari bom molotov. Saya melihat, kombinasi tim yang ada di KPK saat ini sangat rapi. Korupsi itu menjadi nyata manakala OTT diibaratkan susunan mantra memanggil para koruptor keluar dari sarangnya. Disisi lain, OTT seperti Tiki Taka yang sampai saat ini belum strategi ampuh untuk menggantinya.

Peristiwa penyerangan KPK membuat Aktivs HAM sekaligus Direktur Lakataru Foundation, Haris Azhar, menuliskan bahwa bom terhadap pimpinan KPK harus dilihat sebagai sebuah situasi eskalatif, (Bumerang untuk pimpinan KPK: Jawa Pos, 10 Januari 2018).

Menggaris bawahi kata "Bumerang" dalam judul dalam tulisan itu, saya melihat ini bukan soal bumerang karena tidak menghukum sebagaian besar para koruptor kelas kakap. Kita harus akui, pada kenyataanya KPK benar-benar berada dalam posisi diserang.

Untuk menebak, rasa-rasanya sangat sulit. Entah siapa aktornya, tidak lain dan tidak bukan "mereka" yang tergabung dalam jaringan korupsi yang ditangani KPK saat ini. Kalaupun kita terpaksa berspekulasi, tentu "meraka" adalah oknum yang tidak ingin anggota jaringannya terganggu dalam meraup uang negara. Ini kenyataan yang harus dilawan dengan kenyataan.

Menghukum palaku tidak semudah mencetak gol ke gawang lawan. Kalaupun semua ahli hukum berpaling kepada pemikiran Sajipto Rahardjo tentang hukum progresif, sulit rasanya melawan "mereka" yang dibekali tekanan otoritas politik dan otoritas penguasa.

Mahfud MD misalnya, untuk pertamakalinya saat memimpin Mahkamah Konstitusi (MK), dicap kontroversial lewat putusan-putusan yang kerap kali keluar dari ketentuan undang-undang. Lihat bagaimana kasus Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Timur 14 November 2008, gugatan didaftarkan oleh kuasa hukum pasangan Calon Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa-Mudijono (Kaji).

Kala itu, kedua Khofifah -- Kaji mempermasalahkan perhitungan suar Pilkada Jawa Timur di empat kabupaten di Madura dan kabupaten lainnya. Kewenangan MK dalam mengadili perkara sengketa pemilukada tidak lebih dari pengadilan angka-angka. Dirinya harus mencari formula untuk bisa memberikan jaminan keadilan kepada dalam sengketa pilkada itu. MK membuat kreasi sendiri berdasarkan Strategi pembangunan hukum responsif, dimana hakim harus mencari keadilan berdasarkan kreasinya sendiri dan keyakinannya sendiri.

Ini baru kasus Pilkada, lalu bagaimana dengan Korupsi? Sulit kalau hanya sekadar bicara sebagai pengamat atau penikmat. Bagaimana kita menyikapi situasi ini? Tekanan hukum harus dominan dari yang lainnya. Asalkan, keluar dulu dari jeratan kepentingan dan jaringan. Kalau tidak, ini sama saja memelihara korupsi dengan mengatasnamakan penegakan hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun