Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Akhir dari Sebuah Kasus

22 Oktober 2017   22:40 Diperbarui: 22 Oktober 2017   22:44 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suasana pagi menjelang siang itu tampak berbeda. Sekitar gedung pengadilan negeri dipenuhi parkiran motor tidak karuan, halaman hingga isi gedung penuhi manusia. Bolong datang berjalan terseok-seok dari luar menuju gedung pengadilan negeri dengan jidat mengkerut dan hidungnya kembang kempis.

Matanya yang indah itu mengucur air mata perlahan-lahan membasahi pipinya, membasahi bajunya, membasahi celananya hingga membasahi sepatunya. Jalur yang dilalui Bolong kini meninggalkan jejak sepatu yang basah itu. Ruang pengadilan yang sedari tadi dipenuhi lautan putih abu-abu menjadi riuh dan berteriak-teriak dengan emosi berapi-api. Sementara para awak media segera memotret Bolong dari segala sudut sampai tengkurap sehingga lampu kilat tampak seperti lampu mercuri menerangi jalur perjalanan Bolong menuju kursi panas.

Bolong tidak salah!!

Hukum saja dia!!

Provokator!!

Kali ini pengacara bolong menghadirkan 15 saksi ahli yang merupakan guru sekolah Bolong. Mereka dihadirkan untuk membuktikan kebenaran bahwa Bolong sama sekali adalah korban dari kericuhan beberapa minggu yang lalu.

Tanpa berlama-lama, Pak Hakim yang mulai langsung memanggil satu persatu untuk memberikan penjelasan atas tindakan Bolong di sekolah.

Semua guru pun memberikan penjelasan..

"Ini merupakan ciri-ciri makhluk hidup dalam melanjutkan hidupnya" Guru Biologi jadi yang pertama ditanyai Pak Hakim yang mulia.

Usai guru biologi, dilanjutkan lagi guru lainnya.

"Inilah iner power. Tenaga yang dipakai tidak terlalu besar, tetapi hasilnya luar biasa." Kata Guru Fisika.

"Bunyinya terletak di nada F." Kata Guru Musik.

3 jam sudah berlalu. Semua kesimpulan dari para saksi ahli masih belum memberikan kejelasan atas tindakan Bolong.

"Terlalu abstrak, aromanya sulit diungkapkan lewat kata-kata." Kata Guru Bahasa Indonesia.

"Inilah prinsip utama untuk hasil besar dari pengeluaran sekecil-kecilnya." Kata Guru Ekonomi.
"Begini pak Hakim yang mulia, menurut saya, posisi keberadaannya mengikuti arah angin." Kata Guru Geografi.

Waktu sudah sore, teriakan dari dalam dan luar pengadilan tidak berubah, ada yang menyalahkan ada yang membenarkan bahkan ada yang tidak percaya atas penjelasan para saksi ahli itu.

Pak Hakim mengskorsing sidang untuk shalat ashar.

50 menit kemudian, sidang pun dibuka lagi. Masih ada beberapa saksi ahli yang akan dipanggil. Pahk Hakim yang mulia langsung memanggil mereka dan guru pun memberikan penjelasan. Kali ini penjelasannya mengarah pada menyalahkan tindakan Bolong. Ada pula yang sedikit ambigu.

"Inilah salah satu ciri khas bangsa kita, suka menahan diri sampai akhirnya jebol sendiri." Kata Guru PPKN.

"Ini tidak benar Pak Hakim yang mulia, perbuatan Bolong adalah salah satu perilaku menyimpang dari sikap seseorang." Kata Guru Sosiologi.

Ruang pengadilan jadi gemuruh. Semua orang bertepuk tangan, termasuk Jaksa dan Pembela. Banyak yang bersorak-sorak. Beberapa orang mulai meneriakkan yel.

"Saya tidak menemukan adanya pembenaran atas tindakan Bolong, menurut saya Inilah salah satu yang membatalkan wudhu." Kata Guru Agama dengan nada keras dan lantang.

"Dari hasil pengkajian saya selama ini, apa yang dilakukan Bolong adalah H2S yang mengotori Atmosfer," penjelasan Guru Kimia ini membuat bolong mulai pasrah. Hakim segera memvonisnya.

"Aromanya tidak dapat dikali, tapi bisa di-bagi." Kata Guru Matematika

"Pak Hakim yang mulia, ini salah satu sebab terjadinya perang dalam sejarah dunia." Singkat Guru Sejarah dengan suara sedikit menekan ditenggorokan. Kalimat Guru Sejarah ini pun sontak membuat orang yang menonton makin riuh.
"Itu adalah notifikasi bahwa ada file tak terpakai yang harus segera dihapus." Kata Guru Komputer

Pak Hakim yang mulia mulai tampak lelah mendengarkan beberapa saksi ahli. Pak Hakim yang mulia mengatur nafasnya kembali, meminum sebotol air mineral untuk menenangkan diri.

Suasana pun makin riuh. Awalnya tidak mengganggu jalannya sidang, kali ini keriuhan diruangan pengadilan membuat Pak Hakim yang mulai jadi terganggu. Segera ia mengambil palunya dan mengetuk palunya dengan keras. Syukurlah, ketenangan mulai mewarnai jalannya persidangan.

"Silahkan dilanjutkan." Pak Hakim yang mulia melanjutkan penjelasan saksi ahli.

"aromnya berisi berbagai campuran, saya masih bingung ini campuran apa. saya belum pernah menemukan resep dari campuran ini." Kata Guru Tata Boga dengan wajah berkeringan dan bingung.

"Pola hidup yang tidak sehat sangat berpengaruh dengan hasil yang dikeluarkan." Kata Guru Olahraga menjadi penutup penjelasan dari beberapa saksi ahli.

Tak terasa sidang semakin larut, orang-orang yang menyaksikan jalannya persidangan tetap seperti biasa. Para makhluk putih abu-abu terus berdatangan hingga tidak lagi mampu menampung ruang persidangan.

Pak Hakim yang mulai mulai lelah, dengan sisa semangat yang ada,  ia kembali melanjutkan persidangan. Kasus ini membuatnya bingung. Tampaknya ini kasus yang sulit dibongkar, sebab beberapa saksi ahli memberikan penjelasan yang berbeda.

Hari makin larut, suasana malam ditambah dinginnya AC membuat Pak Hakim yang mulai mulai menggerak-gerakknya pinggulnya ke kiri dan ke kanan. Kadang dadanya menunduk kedepan sementara bokongnya ditarik kebelakang. Tapi, ia tidak mampu menahan lagi. Akhirnya, suara halus pun terdengar, suasa pengadilan makin memanas, orang-orang meneriaki dengan kalimat jelek, para wartawan menangkan moment  itu dengan menuliskan berita bahwa Pak Hakim yang mulia ternyata melalukan kasus yang sama. Sementara wartawan lainnya menulis berita biasa-biasa saja.

"Sidang saya tunda beberapa bulan depan." Sidang pun langsung ditutupnya.

Orang-orang dalam sidang tadi berteriak, ada yang berlari seakan-akan ingin melempar Pak Hakim yang mulia. Sungguh tidak ada penghargaan kepada Pak Hakim yang mulia.

Hati Pak Hakim yang mulia pun bergetar, hampir saja meneteskan air mata. Hmmmm,,! Ia membuang nafasnya dengan halus. Bayangkanlah, jika kasus ini terbongkar, pasti semuanya ricuh dan gedung ini dipenuhi ujaran kebencian.  

Pak Hakim terus digendong dan dilindungi pengawal menuju mobil pribadinya.  Sesampainya di mobil, ia langsung berangkat menuju rumah. Ditengah penjalanan, ia pun disambut dengan kemacetan yang luar biasa. Pak Hakim bercengkerama dengan supirnya. Ia masih berfikir kasus tadi, mengapa bisa ia melakukan hal yang sama. Sopir itu pun menarik dafas dalam-dalam dan membuagnya perlahan-lahan. Seakan-akan ingin mengatakan satu kalima, "Gara-gara kentut si Bolong, urusannya jadi rempong begini." Pak Hakim sudah tertidur pulas. Sidang kali ini sangat melahkan, kasus Bolong kentut di ruang rapat siswa bersama guru membuatnya pusing tujuh keliling. Gara-gara kentut, semua guru harus angkat bicara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun