Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Negara dalam Ruang Tanpa Ruang

28 Agustus 2017   05:47 Diperbarui: 28 Agustus 2017   07:24 1176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketika demokrasi tidak lagi hidup. sumber: lanterhian.com

Siapa sangka, ide cyberspace sebenarnya lahir dari tangan imajinatif seorang penulis fiksi ilmiah bernama William Gibson. Gibson menuangkan imjinasi tentang cyberspace dalam novelnya yang berjudul Neuromance. Di novelnya, Gibson membayangkan adanya ruang maya atau dalam jaringan komputer yang mensimulasikan dunia nyata sehari-hari. Gibson menggunakan istilah Matrix untuk melukiskan sebuah ruang halusinasi. Ruang itu dibangun oleh bit-bit komputer. Ruang Matrix hasil imajinasi Gibson inilah yang kemudian melahirkan ruang abstrak bernama cyberspace.(Yasraf Amir Piliang: 2011)

Kehadiran cyberspacememberikan dampak nyata ke berbagai aspek. Lahir dari imajinasi untuk imajinasi, ternyata dalam perkebangannya menjadi kenyataan. Lihat, bagaimana seorang pebisnis memainkan cybermeraut keuntungan lewat pasar online, mengendalikan pasar virtual, merubah setiap detik kondisi sosial, hingga politik juga terlibat langsung memuluskan kepentingan individu. 

Dalam pandangan sederhananya, era cybermerupakan salah satu tatanan hidup manusia yang tidak bisa dilewatkan sebagai bagian dari masyarakat modern atau posmodern menurut pada akademisi. Cyberpacememiliki fleksibiltas tak terbatas untuk manusia dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Bahkan, mampu membunuh absurditas dengan sekejap mata.

Banyak hal baru bisa diciptakan dan dilakukan dari kekuatan cyberspace, yang paling menonjol yakni informasi. Manakala informasi semakin mudah didapatkan, dengan mudahnya informasi ini menyebar keseluruh penjuru menembus batas ruang dan waktu. Tantangan yang dihadapi, transpransi informasi itu.

Masa depan, ketika kekuatan cybermendominasi, manusia hadir sebagai pengolah ataupun penguasa dunia maya, atau menjadi korban dari cyber. Tidak heran, tanpa atau kendali manusia, informasi hoax mengalir seperti air. Lalu bagaimana dengan tranparansi? Ini tidak lagi menjadi sentral. Itu artinya, masyarakat dengan mudah dipengaruhi dari informasi yang didapatkan. Dengan kondisi demikian, daya tarik atau dengan kata lain popularitas menjadi syarat utama meyakinkan pembaca. Transparansi informasi tidak lagi memiliki otoritas tertinggi yang mengontrol segala informasi. Dalam kadar tertentu, transparansi akan kalah dengan daya tarik. Karenanya, jika dimasa depan nantinya tidak dapat dibendung, sang pengendali yang sebenarnya adalah masyarakat cyber. Inilah era di mana negara tidak lagi hadir dengan konsep demokasi. Melainkan, diganti dengan Netokrasi. Demokrasi semata-mata hanya dihormati dalam literasi refleksi sejarah kebangsaan.

Tidak sedikit pandangan banyak pakar, menuangkan pandangan masa depan dengan melihat transparansi informasi akan mengubah demokrasi menjadi demokrasi multiplisitas, yang di mana setiap orang mengatur dirinya sendiri. Demokrasi multisipilitas tidak mengakui adanya kekuasaan otoriter, aristokrasi, terutama demokrasi. Demokrasi Mutiplisitas adalah demokrasi yang kekuasaan tertingginya bukan pada manusia, melainkan pada jaringan. Maka dengan sendirinya, secara fundamental mengubah pandangan masyarakat terhadap segala informasi.

Dalam politik jaringan, transparansi harga mati. Informasi berlimpah, dari semua arah. Tak ada lagi ruang tertutup untuk menyimpan tindak penggelapan. Segala sesuatu terang benderang. Jaringan memiliki kebebasan menyuarakan suara. Setiap noda transparansi yang terlibat akan dibersihkan melalui kekuatan protes dari jaringan. Dalam sekejap mata, setiap tindakan yang tidak mencerminkn akuntabilitas dapat digugat dan dilegitimasi. Jaringanlah yang akan memegang kunci. (Fayakhun Andriadi: 2016, hlm. 110).

sumber: bendib.com
sumber: bendib.com
BANGUNAN NEGARA NETOKRASI

Netokrasi adalah salah satu demokrasi yang tidak mengedepankan kedaulatan rakyat. Melainkan, kebebasan individu yang bermain di dalam aneka jejaring virtual. Dengan kata lain, setiap individu akan membangun suatu kedaulatannya sendiri dalam jaringan.

Berbeda dengan demokrasi, yang lebih mengedepankan konsensus dalam menjalankan kehidupan bernegara. Sementara, sistem netokrasi bertumpuk pada bagaimana cara menarik perhatian, rayuan atau seduksi. Jelas, siapa yang paling menarik perhatian, itu yang memegang kekuasaan tertinggi. Tentu, masyarakat dalam netokrasi adalah masyarakat percari perhatian.

Dalam artikel Yasraf A. Piliang berjudul Totalitas Menuju Multipsilitas: Manifesto Tentang Masa Depan Bangsa, (2008), menggambarkan bagaimana sistem netokrasi dalam sebuah negara. Dalam sistem netokrasi, siapa yang berhasil mengemas citra dirinya, dialah yang kuasa. Dalam sistem netokrasi, Jaringan (Net) menggantikan peran manusia (Man) atau rakyat (Citizen) sebagai fondasi proyek besar sistem demokrasi masa depan. Kumpulan Netter (para pelaku jaringan) mengambil alih negara sebagai visioner, manajer dan kekusaan tertinggi sosial. Netiquette (etika jaringan) menggantikan peran normatif hukum dan etika, di dalam aktivitas --aktivitas pelaku jaringan yang terus berpindah di dalam dunia virtual. Netocrate (teknorat jaringan) menggantikan peran teknorat dan birokrat di dalam demokrasi, sebagai perencana dan pengambil kebijakan di dalam dunia maya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun