Penulis: Galih Anjar Kusuma, Suci Rahmadanti, Risda Amalia Mansyur.
Desa Argosari masih memiliki kesempatan untuk mengelola potensi hasil bumi di sekitar pemukiman warga, salah satunya berupa kentang dan bawang prei yang berusaha dikembangkan oleh Kelompok KKN 457 lp2m Unej.
 Mengingat Desa Argosari memiliki potensi untuk memproduksi aneka ragam produk makanan berbahan dasar kentang dan bawang prei, yang apabila kentang dan bawang prei tersebut diolah dengan tambahan kreasi dapat menciptakan produk baru yang memiliki nilai tambah, serta dapat menambah penghasilan keluarga yaitu dengan mengembangkan usaha KETARI dan KIPRE untuk di jadikan hasil olahan komoditas desa.Â
Jika kentang dan bawang prei digunakan sebagai bahan dasar pembuatan makanan akan berdampak langsung terhadap peningkatan pendapatan masyarakat, membuka peluang usaha baru bagi penduduk yang tidak memiliki pekerjaan tetap selain sebagai buruh tani, dan juga memberikan peluang dalam penyediaan lapangan kerja baru di Desa Argosari, terutama ibu rumah tangga masih ada yang tidak memiliki kegiatan yang produktif.Â
Peluang usaha ini didukung banyaknya jumlah penduduk di Desa Argosari. Olahan ini dapat menjadi kebutuhan masyarakat ketika melaksanakan hajatan, kebutuhan pada hari raya, oleh-oleh bagi wisatawan, dan sebagai makanan (jajanan) anak sekolah yang bergizi cukup tinggi.
Untuk mendukung eksitensi keberlanjutan daerah, maka kepuasan produk yang dihasilkan mengarah pada lingkup home industry KETARI (Kroket Kentang Argosari) dan KIPRE (Keripik Bawang Prei) yang mengarah pada kegiatan agroindustri/pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah dengan cara merubah menjadi produk jadi yaitu bahan baku kentang diolah menjadi KETARI dan bahan baku bawang prei diolah menjadi KIPRE.Â
Ada beberapa aspek yang dibutuhkan sebagai berikut: 1) Aspek produksi yang dihasilkan dari penggunaan faktor produksi yang optimal. 2) Aspek agroindustri yang dapat meningkatkan nilai tambah (value added).
Pengembangan produk di Desa Argosari memiliki beberapa kendala, pertama adalah kurangnya pengetahuan mengenai produk yang sedang berkembang atau menjadi trend di pasaran.Â
Masyarakat Desa Argosari belum sepenuhnya menguasai internet. Berdasarkan data dari Bank Dunia, hanya sekitar 36% masyarakat di pedesaan yang sudah menikmati dan menguasai internet, sehingga masyarakat kekurangan akses untuk menjangkau informasi mengenai produk olahan yang dapat diaplikasikan. Kedua, kurangnya kemauan masyarakat untuk mengelola komoditas lokal menjadi produk siap santap.Â
Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kurangnya waktu masyarakat karena telah dihabiskan di ladang. Seperti yang diketahui bahwasannya mayoritas masyarakat Desa Argosari bermata pencaharian sebagai petani sehingga sebagian besar waktunya dihabiskan di ladang dan cukup sulit menyesuaikan waktu untuk melakukan pelatihan pengembangan produk olahan komoditas lokal.Â
Selain itu, kurangnya alat untuk proses produksi juga menjadi faktor rendahnya kemauan masyarakat untuk mengelola komoditas lokal menjadi bahan pangan siap santap. Hal tersebut dipengaruhi oleh harga alat yang cukup mahal dan rendahnya keterampilan masyarakat dalam mengoperasinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H