Mohon tunggu...
Rafika Sonhaji
Rafika Sonhaji Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

gemar memasak saat memiliki waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dhepor-Kasor-Somor; Melawan Patriarki di Madura

23 Mei 2023   18:49 Diperbarui: 23 Mei 2023   18:54 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

  "Ella, Le jek asakolah ghi tegghi, Klebun le bedeh, Camat le bedeh" ("Sudah, jangan sekolah tinggi-tinggi, Kepala Desa dan Camat sudah ada". Jika Anda mendengar pepatah ini, berarti Anda tengah berada di lingkungan Orang Madura. Sebagaimana pemikiran patriarki di daerah lain, perempuan Madura seharusnya melakukan pekerjaan domestic. Bahwasanya perempuan nantinya akan berada di 3 (tiga) tempat. Yakni dhepor atau dapur alias memasak, kasor atau kasur yang artinya memberikan anak, dan sumur atau kamar mandi dan tempat mencuci.

Prinsip patriarki didasari oleh pandangan peternalis yg memberikan asumsi bahwa dalam sistem sosial, keberadaan kaum laki-laki lah yang dapat menentukan terwujudnya struktur fungsionalisme dalam keluarga. konsep paternalis merupakan simbol bahwa laki-laki adalah pemimpin berdasarkan hubungan kekeluargaan dalam sebuah dinamika kehidupan sosial yang utuh. (Goode, 2007;18).

Patriarki adalah sistem sosial dimana laki-laki sebagai sosok otoritas utama di dalam sebuah organisasi sosial. dimana posisi laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. (Pinem, 2009:42). Revitasi (2019) mengungkapkan beberapa alasan mengapa budaya patriarki masih ada di Indonesia, yakni:

Praktik pembagian kerja patriarkis yang sudah berlangsung sejak manusia belum mengenal tulisan dan masih berburu dan meramu. Pada masa ini pembagian kerja dapat dikatakan sangat tajam. Laki-laki keluar rumah untuk mencari bahan makanan, bercocok tanam, bahkan berburu. Sedangkan perempuan melakukan pekerjaan domestic seperti memasak dan mengurus rumah;

Orang tua yang secara tidak langsung meneruskan warisan ini. Perempuan mungkin tidak asing dengan kalimat "cewek harus bisa bersih-bersih". Tidak ada yang salah dengan pernyataan tersebut, hanya saja dapat berarti bahwa membersihkan rumah adalah tugas perempuan;

Iklim kapitalisme. Pada banyak iklan produk di media massa seperti televisi dan koran disajikan sosok perempuan yang menarik. Semisal iklan parfum, sabun, dll demi menggaet laki-laki yang diinginkan. Iklan yang menggiring pemikiran bahwasanya perempuan adalah makhluk yang hanya memikirkan cinta;

Mengatasnamakan adat dan agama. Hal ini tidaklah salah namun beberapa pihak menyalahgunakan adat dan agama tersebut;

Secara sadar ataupun tidak, patriarkisme masih dijunjung masyarakat. Hal ini didasari dengan cara masyarakat mengkotak-kotakkan peran dan cap tertentu. Seperti "laki-laki tidak boleh nangis",

Berdasarkan kelima alasan yang dikemukakan Revitasi, alasan keempat yakni atas nama adat dan agama yang menjadi alasan terkuat mengapa patriarki mengakar di Pulau Madura.

            Masyarakat Madura yang dikenal dengan ke-religiusannya melalui ketaatan dan penghormatannya terhadap para kyai, ulama, serta para sesepuh. terdapat paradoks yang mengatakan apabila mengkaitkan kehidupan sosial masyarakat Madura yang sangat patriarki tersebut dengan keterikatannya ajaran Agama Islam. Di satu sisi Islam mengajarkan mengenai bagaimana cara menghargai serta menghormati terhadap kaum perempuan, tetapi di sisi lain terdapat kultur budaya patriarki yang menempatkan kaum laki-laki lebih dominan dan cenderung menguasai kaum perempuan yang ternyata masih terasa kental di lapisan masyarakat Madura.

Pada beberapa kasus perihal bagaimana kuatnya kultur patriarki yang beredar di kalangan masyarakat Madura ini kadang sampai pada taraf yang berlebihan sehingga kurang memberikan apresiasi sosial yang memadai. Dimana kaum perempuan Madura selalu diposisikan dalam ruang-ruang sempit, yang kadang sering kali terabaikan dari wacana sosial. Eksistensi perempuan seakan tenggelam dalam keperkasaan kaum laki-laki baik dalam lingkup terbatas maupun dalam lingkup publik.

Memang dalam tiga dekade terakhir ini terlihat bahwasanya terdapat peningkatan yang signifikan terhadap aktivitas kaum perempuan Madura di wilayah publik. Namun tetap saja hal ini lebih merupakan aktivitas dalam kultur patriarki; dimana posisi perempuan berada dalam desain pikiran serta kendali dari kaum laki-laki. Inisiatif, kreativitas, serta ekspresi dari kaum perempuan Madura belum bisa berkembang bebas. Ada semacam keharusan bahwa kaum  perempuan masih harus mendapatkan izin serta persetujuan dari pihak laki-laki bahkan sepenuhnya dalam bingkai pengawasan ketat oleh kaum laki-laki.

Pada saat ini, masyarakat yang hidup dalam tekanan kultur patriarki cenderung mengalami keterlambatan dalam mengikuti peradaban dunia. Sebab, patriarki sendiri secara tidak langsung dapat membatasi hingga mengurangi potensi yang dimiliki oleh seluruh kaum perempuan untuk terus tumbuh optimal dalam lingkup ruang publik.

Selain beberapa alasan munculnya patriarki yang disebutkan di atas, pernikahan dini di Madura juga turut memberikan sumbangsih kuatnya patriarki di Madura. Pernikahan dini dilakukan oleh salah satu atau kedua pasangan yang belum cukup umur menikah. Kasus di Madura, pernikahan dini banyak disumbang oleh pihak perempuan yang dinikahkan dengan laki-laki yang telah cukup umur. Perbedaan usia ini mengakibatkan perempuan tidak berdaya karena perbedaan usia, kurangnya pengetahuan, dan mengakibatkan ketergantungan terhadap laki-laki.

Salah satu kabupaten di Madura, Bangkalan, mencatat pada kurun waktu 2 (dua) bulan yakni pada Januari hingga Februari 2022, tercatat 154 pasangan yang menikah di bawah umur. Angka tersebut adalah angka yang tercatat di Kementerian Agama Kabupaten Bangkalan. Sangat tinggi kemungkinan adanya perkawinan yang tidak didaftarkan atau dicatatkan pada Kementerian Agama.

Banyaknya jumlah pernikahan dini di Madura mengakibatkan banyak dampak negatif, seperti rentannya terjadi perceraian yang dikarenakan adanya faktor Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan frekuensi yang cukup tinggi ataupun frekuensi rendah.

 Faktor Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut terjadi karena adanya perselisihan terus-menerus yang dialami oleh pasangan pernikahan usia dini yang tidak menemukan jalan keluar serta titik terang untuk sebuah perdamaian dikarenakan adanya beberapa permasalahan seperti masalah perekonomian, kurangnya edukasi tentang pernikahan, serta masih memiliki kepribadian egoisme yang merasa dirinyalah yang paling benar sehingga tidak mau saling mengerti terhadap satu sama lain.

Oleh karena itu, saya berharap untuk kedepannya kaum perempuan di dunia ini khususnya perempuan Madura lebih aktif untuk mengeksistensikan hasil Insiatif, kreatifitas, serta ekspresi mereka dalam ruang-ruang publik, sehingga mereka dapat memiliki kesempatan yang sama untuk memeperjuangkan apa yang telah mereka impikan. Sehingga, kultur patriarki bukanlah penghalang untuk kaum perempuan berhenti dan tidak memperjuangkan apa yang mereka impikan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun