Mohon tunggu...
Rafika Sonhaji
Rafika Sonhaji Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

gemar memasak saat memiliki waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dhepor-Kasor-Somor; Melawan Patriarki di Madura

23 Mei 2023   18:49 Diperbarui: 23 Mei 2023   18:54 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Memang dalam tiga dekade terakhir ini terlihat bahwasanya terdapat peningkatan yang signifikan terhadap aktivitas kaum perempuan Madura di wilayah publik. Namun tetap saja hal ini lebih merupakan aktivitas dalam kultur patriarki; dimana posisi perempuan berada dalam desain pikiran serta kendali dari kaum laki-laki. Inisiatif, kreativitas, serta ekspresi dari kaum perempuan Madura belum bisa berkembang bebas. Ada semacam keharusan bahwa kaum  perempuan masih harus mendapatkan izin serta persetujuan dari pihak laki-laki bahkan sepenuhnya dalam bingkai pengawasan ketat oleh kaum laki-laki.

Pada saat ini, masyarakat yang hidup dalam tekanan kultur patriarki cenderung mengalami keterlambatan dalam mengikuti peradaban dunia. Sebab, patriarki sendiri secara tidak langsung dapat membatasi hingga mengurangi potensi yang dimiliki oleh seluruh kaum perempuan untuk terus tumbuh optimal dalam lingkup ruang publik.

Selain beberapa alasan munculnya patriarki yang disebutkan di atas, pernikahan dini di Madura juga turut memberikan sumbangsih kuatnya patriarki di Madura. Pernikahan dini dilakukan oleh salah satu atau kedua pasangan yang belum cukup umur menikah. Kasus di Madura, pernikahan dini banyak disumbang oleh pihak perempuan yang dinikahkan dengan laki-laki yang telah cukup umur. Perbedaan usia ini mengakibatkan perempuan tidak berdaya karena perbedaan usia, kurangnya pengetahuan, dan mengakibatkan ketergantungan terhadap laki-laki.

Salah satu kabupaten di Madura, Bangkalan, mencatat pada kurun waktu 2 (dua) bulan yakni pada Januari hingga Februari 2022, tercatat 154 pasangan yang menikah di bawah umur. Angka tersebut adalah angka yang tercatat di Kementerian Agama Kabupaten Bangkalan. Sangat tinggi kemungkinan adanya perkawinan yang tidak didaftarkan atau dicatatkan pada Kementerian Agama.

Banyaknya jumlah pernikahan dini di Madura mengakibatkan banyak dampak negatif, seperti rentannya terjadi perceraian yang dikarenakan adanya faktor Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan frekuensi yang cukup tinggi ataupun frekuensi rendah.

 Faktor Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut terjadi karena adanya perselisihan terus-menerus yang dialami oleh pasangan pernikahan usia dini yang tidak menemukan jalan keluar serta titik terang untuk sebuah perdamaian dikarenakan adanya beberapa permasalahan seperti masalah perekonomian, kurangnya edukasi tentang pernikahan, serta masih memiliki kepribadian egoisme yang merasa dirinyalah yang paling benar sehingga tidak mau saling mengerti terhadap satu sama lain.

Oleh karena itu, saya berharap untuk kedepannya kaum perempuan di dunia ini khususnya perempuan Madura lebih aktif untuk mengeksistensikan hasil Insiatif, kreatifitas, serta ekspresi mereka dalam ruang-ruang publik, sehingga mereka dapat memiliki kesempatan yang sama untuk memeperjuangkan apa yang telah mereka impikan. Sehingga, kultur patriarki bukanlah penghalang untuk kaum perempuan berhenti dan tidak memperjuangkan apa yang mereka impikan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun