***
Aku masih duduk di ujung jalan, lalu memandang kosong. Kucing yang mulai kelaparan mendekat karena bau gurih ikan yang jadi lauk pauk nasi bungkusku siang itu, nampaknya dia cukup lahap dan amat senang karena ikan yang jadi santapannya masih utuh beserta nasinya.
Saat siang hari ujung jalan yang kusinggahi menjadi ramai oleh lalu lalang ontel yang baru pulang dari ngarit rumput, anak-anak bau matahari bercampur keringat saat pulang sekolah pun jadi hiasan jalanan, ditambah pula kendaraan bermotor yang hilir mudik silih berganti dengan bunyi knalpot yang berisik.
Sambil kekenyangan, kucing yang menyantap bersih makan siangku pun berjalan menjauh lantas berlalu. Aku tak lagi perduli dengan perut yang masih membunyikan orkes mendayu, tetap saja duduk sambil meremas-remas sobekan kertas foto yang gambarnya ada aku dan kekasihku, asyik sendiri dalam nestapa yang sunyi. Mungkin saat itu aku hanya seperti onggokan batu bagi irama sibuk tiap kepala yang lalu lalang.
Tempat yang ku duduki adalah favorit kami ketika sore hari. Menikmati datangnya senja yang jingga sembari melahap sebungkus nasi juga kopi tubruk, namun ketika itu tempat tersebut kukunjungi saat siang yang terik, tak peduli dengan matahari yang akan menghanguskan kulit. Yang jelas ingin kutandaskan kenangan agar semakin menusuk-nusuk.
Butuh keberanian untuk membuat foto itu jadi robekan. Aku mencetaknya di studio pak Wong, sekitar satu jam perjalanan menggunakan bis dari kampungku. Foto itu kuambil dengan menggunakan kamera poket hasil meminjam, saking kepinginnya punya foto untuk kutaruh di dompet, agar sewaktu-waktu dapat kupandangi kami berdua. Â Â
Senja mulai menunjukan wajahnya yang jingga, aku menarik nafas dalam. Tiba-tiba ada yang begitu saja datang, menggoyang-goyangkan bahu dan lantas menggenggam jemariku. Aku terkejut dengan dua sentuhan itu, spontan saja menatap matanya, mencoba mencari tahu maksud dari sentuhannya itu.
"Aku mencarimu, sudahlah,lupakan", beberapa kata saja yang keluar dari bibirnya dan membuatku akhirnya faham mengapa dia tiba-tiba datang.
Mataku mulai berkaca-kaca, merasa hangat di pelupuk mata. Bibir dan pipiku merasa sedikit bergerak-gerak mengikuti irama nafas yang mulai tersengal, sesenggukan, aku menangis di hadapannya. Hembusan angin kering berdebu pun menjadi tak terasa.
"Aku sedih, kecewa, sakit", dalam empat kata pula aku mengutarakan arti air mataku.
Dia diam disampingku. tertunduk dan sesekali menatapku yang masih meremas-remas sobekan kertas foto yang bergambar aku dan kekasihku, makin lama makin keras dan mengandung aroma kecewa yang bisa dirasakannya juga.