Pekan terakhir bulan Mei menjadi minggu yang berat bagi masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak? Seminggu terakhir ini kita dibuat ketar-ketir dengan banyak hal. Mulai dari isu kenaikan UKT, revisi UU Polri, revisi UU Penyiaran hingga yang terbaru, yakni isu pemotongan gaji karyawan untuk membayar Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Pada dasarnya, tabungan untuk hunian bukanlah produk baru. Namun, Tapera tetap menjadi perbincangan publik karena pesertanya tidak terbatas pada PNS saja. Pegawai swasta dan pekerja mandiri juga akan terkena pemotongan gaji sebesar 3% setiap bulannya untuk Tapera. Rinciannya yaitu 0,5% dibayar oleh pemberi kerja dan 2,5% dibayar oleh pekerja
Jika kita lihat sekilas, rencana kebijakan ini seakan-akan menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap rakyatnya. Akan tetapi, bagi saya, Tapera justru menunjukkan pemerintah tidak benar-benar peduli pada kita. Solusi yang ditawarkan kurang tepat dan jauh dari permasalahan utama.
Kok bisa ya, di luar pajak, pemerintah membuat kebijakan untuk mengurusi gaji orang-orang? Tanpa bertanya ke yang punya gaji pula. Kan aneh.
Kok bisa ya, para pemangku kebijakan itu lupa bahwa masih bertahan dan memiliki pekerjaan merupakan sesuatu yang tak semua orang bisa rasakan? Apalagi jika kita lihat akhir-akhir ini beredar video kerumunan orang yang rela mengantre hanya demi melamar kerja di warung seblak. Itu sudah cukup menjadi bukti dari kurangnya lapangan pekerjaan di negara ini
Lha kok ini, mereka yang sudah bekerja mau diberi kewajiban yang mengikat. Padahal seperti yang kita tahu gaji mereka ya hanya segitu-gitu aja. Aneh. Namanya tabungan kok maksa.
Tapera dari perspektif pemberi kerja dan pekerja
Lantas, bagaimana Tapera dari perspektif pemberi kerja dan pekerja? Dari perspektif pemberi kerja, kebijakan Tapera jelas akan menambah beban baru. Jika dikalkulasikan, tanpa adanya iuran Tapera, beban pungutan yang ditanggung pemberi kerja sudah cukup besar yaitu berada di angka 18,24-19,74% dari penghasilan pekerja.
Angka tersebut diperoleh dari iuran Jaminan Hari Tua 3,7%, Jaminan Kematian 0,3%, Jaminan Kecelakaan Kerja 0,24-1,74%, Jaminan Pensiun 2%, Jaminan Kesehatan 4%, serta cadangan pesangon sebesar 8%. Beban ini tentu semakin berat dengan adanya depresiasi rupiah.
Tapera dilihat dari kacamata pekerja juga memberatkan. Misalkan, gaji yang diterima setiap bulan Rp2 juta, maka besar potongan bisa sampai Rp50.000 per bulan. Bagi pejabat,nuang Rp50.000 jelas tidak ada artinya. Namun, bagi karyawan biasa, uang Rp50.000 itu sangat berharga.
Tapera demi memudahkan masyarakat punya rumah. Benarkah demikian?
Saya tahu bahwa uang yang terpotong itu tidak akan hilang. Ketika kepesertaan Tapera telah berakhir, simpanan kita akan dikembalikan dan ditambah dengan bunganya. Kalian mungkin bertanya-tanya, kok bisa ada bunganya seperti di bank?
Begini, perlu kita catat bahwa lembaga negara juga memiliki kegiatan investasi. Mereka menanam uang yang terakumulasi di Tapera untuk ditanamkan di pasar modal, didepositokan di bank, dan/atau dibelikan surat utang negara, obligasi, maupun sukuk (obligasi syariah). Polanya kurang lebih serupa dengan dana haji.
Permasalahannya adalah coba kalian hitung berapa jumlah uang yang akan peserta Tapera terima di akhir. Misalkan kita anggap masa kerjanya 30 tahun. Maka jumlah dana Tapera yang akan diperoleh adalah Rp50.000 dikalikan 12 bulan dikalikan 30 tahun. Total duit terkumpul ditambah dengan bunga kurang lebih sekitar Rp18 juta-an. Bayangkan, Rp18 juta setelah 30 tahun. Bisa buat beli rumah model apa dengan dana segitu?
Program KPR hingga 30 tahun
Memang, adanya Tapera memungkinkan peserta untuk mendapatkan benefit berupa  KPR hingga 30 tahun. Namun, maksimal harga jual rumah atau limit kreditnya juga terbatas, tergantung zona KPR. Untuk di pulau Jawa (kecuali wilayah Jabodetabek) misalnya, maksimal harga jual rumahnya Rp150 juta. Pertanyaannya adalah masih adakah rumah layak dengan akses terjangkau seharga Rp150 juta?
Disamping itu, hidup dengan  KPR 30 tahun dengan cicilan Rp800 ribuan sementara gaji hanya Rp2 juta itu berat banget lho. Bayangkan, sisa gaji Rp1,2 juta harus dibagi untuk iuran BPJS, Tapera, bayar listrik, makan, biaya sekolah anak, bensin, kuota, dan sederet keperluan lain.
Masalahnya apa, solusinya apa?
Sebagai rakyat yang mencintai negerinya, saya hanya bisa bertanya-tanya. Jika memang permasalahannya adalah hunian, apakah Tapera merupakan solusinya? Mengapa tidak dengan memunculkan regulasi tentang larangan penimbunan properti saja? Saya rasa untuk saat ini, itu adalah jalan keluar yang paling realistis. Kalau menurut pandangan saya, Tapera ini kesannya seperti ingin menghimpun dana dari masyarakat saja.
Saya rasa saran dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) juga bisa jadi pertimbangan bagi pemerintah. Mereka menyarankan pemerintah dapat lebih mengoptimalkan dana Manfaat Layanan Tambahan (MLT) dan dana program Jaminan Hati Tua (JHT), mengingat dana tersebut sangat besar tetapi sedikit pemanfaatannya. Menurut saya, pemerintah tidak perlu membuat kebijakan baru yang sebenarnya hanya duplikasi dari kebijakan yang sudah ada sebelumnya.
Masih ada waktu 3 tahun sebelum pendaftaran kepesertaan dana Tapera ini wajib dilakukan. Selama rentang waktu tersebut, masih bisakah kami, rakyat Indonesia, berharap kepada kalian para pengelola negara yang terhormat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H